Jumat, 15 Januari 2016

PENGEMBANGAN SUPPLY CHAIN MANAJEMEN (SCM) PADA AGRIBISNIS AYAM RAS PETELUR DI KABUPATEN LIMAPULUH KOTA PROVINSI SUMATERA BARAT


Pembangunan pertanian merupakan salah satu sektor utama dalam pembangunan nasional, hal ini berkaitan dengan peran sektor pertanian dalam penyediaan lapangan pekerjaan, penyumbang PDB, sebagai penghasil pangan, pakan dan energy serta sektor pertanian yang lebih fleksibel terhadap gejolak krisis ekonomi seperti yang terjadi pada krisis ekonomi tahun 1997/1998 yang mana sektor yang tetap bertahan adalah pertanian. Angkatan kerja yang bekerja disektor pertanian mencapai 40,3 persen dari seluruh angkatan kerja (BPS, 2010). Penggunaan lahan oleh sektor pertanian mencapai 71,33 persen dan juga sebagai penyumbang PDB sebesar 15,60 persen dari total PDB.
Pertumbuhan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan perkapita dan kesadaran masyarakat terhadap makanan yang bergizi tinggi, serta kebutuhan energy fosil yang semakin menipis menyebabkan sektor pertanian menjadi sangat penting dalam meningkatkan perekonomian secara makro dan mikro, maka orientasi pembangunan pertanian diarahkan kepada model sistem agibisnis yang serasi dan terpadu dengan keterkaitan yang erat antara berbagai subsistemnya atau lebih dikenal dengan supply chain management. Subsistem dalam agribisnis tersebut adalah subsistem sarana produksi pertanian (agro input), subsistem usaha tani (on farm), subsistem pengolahan dan pemasaran (off farm) serta subsistem penunjang (penelitian, penyuluhan dan pembiayaan, sarana dan prasarana) (Saragih, 2009).
Salah satu subsektor agribisnis yang memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan petani dan penyerapan tenaga kerja adalah agribisnis ayam petelur. Dalam sistem agribisnis, kegiatan peternakan ayam petelur akan berpengaruh terhadap kegiatan peyediaan agro input, pemasaran dan penyediaan sarana dan prasarana pendukung. Kegiatan agribisnis pada agroinput ayam petelur adalah penyediaan pakan, doc (day old chicen), vaksin dan obat-obatan serta peralatan. Kegiatan bagian hilir adalah pendistribusian dan pemasaran.
Konsumsi telur ayam secara nasional mencapai 1,737 juta ton pada tahun 2010 dengan rata-rata pertumbuhan  konsumsi setiap tahunnya 8,72 persen sedangkan pertumbuhan populasi ayam petelur berfluktuatif walaupun menunjukan kenaikan. Populasi ayam ras petelur di Indonesia berdasarkan data Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan pada tahun 2011 mencapai 110.300.428 ekor mengalami peningkatan 5 persen dibanding tahun 2010 walaupun populasi pada tahun 2010 mengalami penurunan 6 persen dari tahun 2009. Hal ini menunjukan kegiatan agribisnis ayam petelur belum dapat dikatakan berjalan dengan baik dan normal karena terjadi fluktuatif pertumbuhan populasi ayam dan jumlah peternak setiap tahunnya terutama peternak rakyat.
Daerah sentra ayam petelur secara nasional masih didominan di Pulau Jawa yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Pulau Suamtera yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan.
Tabel 1. Lima besar Provinsi Sentra Ayam Petelur
No
Provinsi
Tahun


2007
2008
2009
2010
2011
1
Jawa Timur
34,926,134
31,472,953
33,046,601
21,959,505
22,492,294
2
Jawa Tengah
14,920,824
15,569,127
16,519,794
17,712,776
18,568,354
3
Jawa Barat
11,462,744
10,303,478
10,403,803
11,252,390
12,056,664
4
Sumatera Utara
9,777,189
7,698,504
7,702,353
8,350,030
8,537,070
5
Sumatera Barat
6,460,787
6,684,013
7,203,319
7,801,317
7,594,409

Indonesia
111,488,878
107,955,170
111,417,637
105,210,062
110,300,428
Sumber : Kementerian Pertanian RI
Sumatera Barat merupakan termasuk provinsi lima besar penghasil telur ayam ras secara nasional dengan populasi ayam petelur pada tahun 2011 mencapai 7,594,409 ekor mengalami penurunan 2,6  persen dari tahun 2010 dengan populasi 7,801,317 dan jumlah ternak berfluktuatif setiap tahunnya. Kabupaten sentra penghasil ayam petelur  di Sumatera Barat adalah Kabupaten Limapuluh Kota dengan populasinya mencapai 4,796,490 ekor pada tahun 2011 atau 60 persen dari total populasi ternak ayam petelur di Sumatera Barat.
Gambar 2. Populasi ayam petelur di Sumatera Barat tahun 2001-2011
No
Kabupaten/Kota
Tahun
2007
2008
2009
2010
2011
1
Limapuluh Kota
3,934,111
4,058,991
4,734,598
4,858,940
4,796,490
2
Tanah Datar
608,159
612,077
612,227
714,786
816,401
3
Padang
512,880
561,928
450,845
460,845
535,300
4
Payakumbuh
475,800
509,750
483.000
749,900
624,025
5
Padang Pariaman
242,050
392,600
376,000
404,911
483,690

SUMBAR
6,347,337
6,684,013
7,224,619
8,545,250
7,826,836
Sumber : Dinas Peternakan Sumatera Barat
Kabupaten Limapuluh Kota memang dijadikan sebagai sentra peternakan sapi dan ayam petelur melaui program bimas pada tahun 1977. Peternakan unggas di pusatkan di Kecamatan Mungka namun peternakan ayam petelur sudah berkembang ke kecamatan lain seperti Kecamatan Guguak, Kecamatan Lareh Sago Halaban dan Kecamatan Harau. Jumlah peternak juga mengalami fluktuasi dengan tren meurun, rata-rata penurunan peternak setiap tahunnya 11,71 %, pada tahun 2010 jumlah peternak 8.92 kk namun tahun 2011 turun menjadi 795 kk. Hal ini menunjukan tidak stabilnya agribisnis peternakan ayam petelur di Kabupaten Limapuluh Kota terutama bagi peternak rakyat dengan skala kepemilikan ayam kurang dari 10.000 ekor, sehingga keuntungan peternakan ayam petelur hanya akan dinikmati oleh peternak besar yang sudah mampu untuk menjalin hubungan dengan relasinya pemasok agro input dan pemasaran.

Agribsnis ayam petelur masih sangat prospek untuk dikembangkan karena permintaan akan  makanan bergizi akan meningkat dan lima tahun kedepan diperkirakan akan terjadi double consumtion pangan asal unggas yaitu telur dan daging ayam. Harga daging sapi mengalami kenaikan yang tajam sehingga akan terjadi peralihan konsumsi ke telur dan daging ayam. Hal tersebut merupakan peluang dan tantangan bagi para peternak, akan menjadi peluang karena permintaan terhadap telur ayam akan meningkat dan akan menjadi tantangan karena ketersediaan input produksi terutma pakan dari jagung dan dedak akan bersaing dengan peternak ayam pedaging sehingga harga input produksi akan meningkat.
Berkaitan dengan hal tersebut pembinaan hubungan antar pemasok dan pemasar menjadi sangat penting agar peternakan dapat bertahan. Namun permasalahan agribisnis ayam petelur yang terjadi di Kabupaten Limapuluh Kota adalah jumlah peternak berfluktuatif dengan kecenderungan menurun jika pada tahun 2002 jumlah peternak mencapai 1,414 kk menurun dratis setahun kemudian menjadi 631 kk dan pada tahun 2012 naik menjadi 795 hal ini menunjukan banyak peternak ayam yang tidak melanjutkan usahanya, walaupun disisi lain populais ayam befluktuatif dengan kecenderungan naik. Salah satu permasalahan yang menyebabkan jumlah peternak menurun adalah harga input produksi yang tidak sebanding dengan harga pemasaran telur sehingga banyak peternak yang rugi terutama peternka rakyat sedangkan peternak besar masih tetap bertahan karena adaya jalinan hubngan dengan input produksi dan pemasaran yang kuat. Belum ada lemabaga yang menkoordinir kelembagaan rantai pasok atau supply chain management di Kabupaten Limapuluh Kota sehingga peternak rakyat sulit untuk berkembang dan bahkan peternak baru akan sulit untuk masuk keagribisnis tersebut.
Kab. Liamapuluh Kota yang sudah ditetapkan sebagai sentra agribisnis ayam petelur di Provinsi Sumatera Barat, diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan ekonomi masyarakat dan tumbuh menjadi sentra agribisnis peternakan ayam petelur yang berdaya saing. Untuk dapat mengembangkan agribisnis ayam petelur yang berdaya saing dan berkelanjutan, maka para peternak harus mampu mengkoordinasikan seluruh kegiatan peternakan pada bagian hulu (upstream) dalam menyediakan bahan-bahan baku atau input hingga pada bagian hilir (downstream) dalam proses distribusi dan pemasaran produk yang sering disebut dengan Supply chain management (SCM).  Penerapan SCM adalah  untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang (warehouse) dan tempat penyimpanan lainnya secara efisien sehingga produk yang dihasilkan dapat didistribusikan dengan kuantitas yang tepat, lokasi tepat dan waktu tepat untuk memperkecil biaya dan memuaskan pelanggan. Jaringan dalam satu supply chain akan terjalin kuat dengan adanya hubungan kemitraan (relationship marketing) yang erat ke hulu (backward linkage) dan ke hilir (forwad linkage). Untuk itu, para peternak harus mampu menjalin hubungan yang baik dengan mitra bisnisnya. Hubungan ke hulu terkait dengan lembaga penyedia input produksi (pakan, doc, obat-obatan dan vitamin), supplyer jagung dan dedak sedangkan hubungan ke hilir adalah dengan pasar konvensional, pasar modern dan pasal lembaga.





Minggu, 13 September 2015

KEMITRAAN USAHA (CONTRACT FARMING) AGRIBISNIS AYAM PEDAGING DAN TINJAUAN SYARI’AH DALAM BETUK KERJASAMA BISNIS (SYIRKAH)




I.          Pendahuluan
Dalam menjalankan usahanya manusia akan selalu berhubungan dengan kelomopok atau individu lain untuk mendukung kesuksesan usaha tersebut. Manusia sebagai mahluk sosial tidak akan bisa berusaha sendiri tanpa melibatkan orang lain, dengan sifat dasar manusia hidup bermasyarakat dan berhubungan dengan yang lain dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk berhubungan ekonomi maupun kegiatan sosial lainnya (bermuamalah) sehingga timbullah kerjasama antara satu individu dengan individu lain atau satu komunitas dengan komunitas lain untuk membuat perjanjian atau kesepakatan-kesapakatan kerjasama dalam bidang bisnis (syirkah).
Tidak terlepas dari hal tersebut kerjasama dalam usaha pertanian sudah berkembang sejak lama, karena kegiatan pertanian merupakan kegiatan yang mendasar bagi masyarakat dalam hal untuk memenuhi kebutuhan pangan. Sektor pertanian mulanya memang hanya sebagai sektor produksi saja terutama untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga, namun seiring dengan berkembangnya sektor industri, kebutuhan akan produk pertanian menjadi sangat penting sebagai bahan baku indudustri tersebut. Produk pertanian tidak hanya sebagai bahan pangan (food) saja tapi telah berkembang kedalam berbagai kebutuhan seperti bahan obat-obatan, kosmetika, pakan ternak (feed) dan sumber energy terbarukan (biofule).
Terjadinya transformasi sector budidaya pertanian ke sector indudustri pengolahan, menyebakan sector tersebut tumbuh dan berkembang dengan pesat terutama di pedesaan yang merupakan sumber penghasil produk pertanian. Seiring dengan perkembangan sector pertanian juga diikuti dengan berkembangan kegiatan ekonomi atau bisnis bidang pertanian tersebut dan telah menimbulakan banyak kerjasama-kerjasama bisnis atau kemitraan dalam usaha pertanian (contrac farming).
Kerjasama usaha pertanian pada prinsipnya adalah dalam upaya mewujudkan bisnis yang berkeadilan dan saling menguntungkan antara petani sebagai produsen dengan industri sebagai pemakai/ konsumen. Banyak bentuk-bentuk kerjasama usaha pertanian yang berkembang berikut dengan keunggulan dan kelemahannya. Tidak terlepas dari hal tersebut Islam juga mengatur bagaimana system kerjasama bisnis yang berkeadilan dan saling menguntungkan tersebut. Juga tidak salah kiranya prinsip-prinsik kerjasama sesuai syari’ah berkembang dengan baik mengingat Indonesia sebagai negara agraris dan sebagian besar penduduknya beragama Islam. Dalam Islam, pertanian merupakan subsistem dari Sistem Ekonomi Islam. Hasil-hasil pertanian digunakan untuk memenuhi hajatun ‘udhawiyah (kebutuhan fisik) manusia seperti makanan dan minuman, serta kebutuhan asasi individual yakni pakaian dan perumahan. Sebagai contoh dengan penduduk lebih dari 220 juta jiwa, Indonesia saat ini membutuhkan bahan pangan pokok tidak kurang dari 53 juta ton beras, 12,5 juta ton jagung dan 3,0 juta ton kedelai. Belum lagi berbagai produk olahan yang menunjang kenyamanan hidup manusia, seperti obat-obatan, kosmetika, kerajinan, dan sebagainya.
Salah satu sector pertanian untuk kebutuhan pangan sebagai sumber protein hewani adalah peternakan. Pada awalnya manusia hidup berburu untuk mendapatkan pangan hewani, namun setelah terjadi penjinakan (demostikasi) terhadap hewan-hewan liar tersebut berkembanglah kegiatan beternak sampai sekarang yang telah didukung oleh teknologi. Peternakan ayam pedaging merupakan sector peternakan yang menarik dan menguntungkan bagi peternak berkembang dengan pesat terutama dengan system kemitraan. Berdasarkah hal tersebut akan dijelaskan beberapa system kerjasama usaha (kemitraan) peternkan ayam pedaging antara peternak dengan perusahaan peternakan yang berkembang saat ini.

II.       Sistem Kemitraan/ Kerjasama dalam Peternkan Ayam Pedaging
Urgensi kemitraan dalam usaha pertanian diwujudkan dengan lahirnya Undang-undang No. 9 tahun 1995 tentang usaha kecil, serta peraturan Pemerintah No.44 tahun 1997 tentang kemitraan. Kemitraan usaha (partnership) didefenisikan sebagai kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. SK Mentan No. 940/Kpts/OT.210/10/1997 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, pasal 2 menyebutkan : “bahwa tujuan kemitraan usaha pertanian adalah untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha, meningkatkan sumberdaya kelompok mitra, dan peningkatan skala usah, dalam rangka menumbuhkan dan peningkatkan kemampuan kelompok mitra yang mandiri”.
Dalam berbagai model kemitraan yang dikembangkan di Indonesia, selalu melibatkan dua hal, yaitu adanya hubungan dagang dan hubungan pembinaan atau bimibingan teknis, manajemen, bantuan permodalan, dan pemasaran hasil. Ada beberapa model kemitraan yang berkemabang seperti : Model inti plasma, model system pertanian kontrak, model sub kontrak, model dagang umum, model vendor, model keagenan, dan model kerjasama operasional agribisnsi (KOA).
Kerjasama atau kemitraan pada peternkan ayam pedaging secara umum yang sering diterapkan dimasyarakat adalah model inti plasma. Model ini merupakan hubungan kemitraan antara usaha (UK) dengan usaha menengah atau besar, dimana usaha menengah (UM) atau usaha besar (UB) bertindak sebagai inti dan Usaha Kecil selaku plasma. Perusahaan inti berkewajiban melakukan pembinaan mengenai teknis produksi agar diperoleh hasil sesuai dengan yang diharapkan. Pembinaan juga dilakukan untuk meningkatkan kualitas meningkatkan manajemen kelompok plasma. Sebagai tindaklanjut Keppres No. 50 tahun 1981 maka dikeluarkan kebijakan pemerintah PIR Perunggasan (1984), yang dalam operasionalisasinya diperkenalkan dalam tiga sistem :
1.      Sistem Upah
Kerjasama peternakan ayam pedaging dengan system ini adalah, peternak mendapatkan upah dari perusahaan mitra yang memodali usaha peternakan yang dilakukannya. Secara operasional system ini yaitu, peternak dalam hal ini harus sudah memiliki kandang yang sudah lengkap dengan peralatan lainnya serta juga tenaga pengelola. Sedangkan perusahaan inti akan menyediakan input produksi seperti bibit (DOC), pakan, obat-obatan dan menjamin pemasaran. Dalam usaha ini peternak hanya mendapatka upah dari usahanya, biasanya peternak mendapatkan upah sebesar Rp.1000/ ekor.
Keuntungan bagi peternak dalam usaha ini adalah, peternak tidak ikut menanggung resiko gagal panen ataupun harga jual ternak rendah, peternak tetap mendapatkan upah sesuai kontrak kerja, sedangkan kerugian bagi peternak adalah tidak ikut mendaptkan keuntungan harga tinggi. Bagi perusahaan keuntungannya adalah dapat membantu memperluas jaringan perusahaan, apabila harga tinggi maka keuntungan sebagian besar dinikmati perusahaan, sedangkan kerugian bagi perusahaan adalah harus tetap membayar upah kepada peternak walaupun harga anjlok dipasaran dan disamping itu peternak tidak termotifasi memelihara ayam dengan baik sehingga seringkali produksi tidak mencapai target yang ditetapkan.
Sistem upah pada awalnya sangat diminati oleh para peternak karena resikonya lebih rendah. Seperti yang diketahui peternakan ayam pedaging mempunyai resiko yang besar. Namun akhir-akhir ini system upah sudah mulai ditinggalkan peternak karena keuntungan sudah dipatok perusahaan.

2.      Sistem Kontrak
Kemitraan atau kerjasama dalam bentuk kontrak adalah kerjasama antara peternak sebagai plasma menjalin kerjasama dengan perusahaan perunggasan (inti) yang mana dari awal kegiatan bisnis dilakuan kontrak harga ayam per satuan Kg. Harga kontrak ditetapkan setelah dikeluarkan semua biaya-biaya produksi. Adapun kewajiban dari pihak inti adalah : 1) Menyediakan bibit ayam (DOC) dengan kualitas standar, 2) Menyediakan pakan (feed) produksi perusahaan inti, 3) Menyediakan vaksin dan obat-obatan, 4) Menyediakan input-input lainnya seperti bahan pemanas (gas atau batu bara), 5) Melakukan bimbingan dan pengawasan melalui tenaga teknisi dan supervisor,dan 6) Menampung dan memasarkan seluruh hasil produksi. Sedangkan plasma berkewajiban : 1) Menyediakan kandang dan lahan dengan kapasitas 4.000-6.000 ekor, 2) Menyediakan tenaga kerja baik tenaga kerja keluarga maupun tenaga luar keluarga (hired labor), 3) Menyediakan bahan bakar, sekam, listrik, dan air bersih, 4) Menjamin atau menjaga keamanan usaha ternaknya, 5) Setelah panen diharapkan mencapai standar tertentu (Feed Conversion Ratio/FCR) kurang dari bobot boiler, semakin kecil FCR semakin baik, dan mortalitas kurang dari atau sama dengan 5 %), dan 6) Menjual seluruh hasil produksi broiler keperusahaan inti, ditetapkan atau disepakati sebelum DOC masuk kandang.

Beberapa kriteria dalam melakukan seleksi peternak calon mitra (plasma) antara lain adalah :
1.         Bersikap jujur, dapat dipercaya dan memegang komitmen dengan baik
2.         Ada rekomendasi dari tokoh masayrakat atau tokoh peternak setempat
3.         Memiliki pengalaman minimal 2 tahun
4.         Bersedia melakukan usaha budidaya sesuai anjuran perusahaan inti melalui teknisi lapangan
5.         Beberapa inti mensyaratkan adanya agunan terutama berupa sertifikat tanah
6.         Lolos dari uji kelayakan (fesibility study) terutama didasarkan atas kondisi fisik kandang, ketersediaan air bersih, aksessibilitas baik, dan tidak berimpit dengan pemukiman penduduk.
Pelaksanaan dari kemitraan sisten kontrak ini mempunyai kelebiahan dan kekurangan bagi peternak. Kelebihannya yaitu input produksi sudah disediakan perusahaan inti dan sekaligus memebeli produk sesuai harga kontrak, harga tetap walaupun terjadi penurunan harga, biasanya peternak mendapatkan keuntungan Rp. 3000-4.000/kg, sedangkan kelemahannya adalah apabila harga pasar jauh lebih tinggi dari harga kontrak petani tidak dapat menikamti harga tersebut, namun ada beberapa perusahan menerapan kebijakan menaikan harga 30 % dari harga pasar. Kerugian dari system ini adalah peternak tidak mendapatkan keuntungan pada saat harga pasar tinggi dan resiko ditanggung sendiri oleh peternak.

3.      Sistem Manajemem Fee
Sistem manajemen fee adalah kerjasama kemitraan yang mana plasma menyediakan sarana dan prasaran berupa lahan/ kandang beserta perlengkapannya, sarana pendukung (air, listrik dll) serta tenaga kerja baik keluarga maupun tenaga kerja luar keluarga. Sedangkan pihak inti akan menyediakan input produksi berupa bibit ayam (DOC), pakan, obat-obatan dan pihak inti akan membeli hasil dari peternakan tersebut. Harga pembelian kepada peternak sesuai dengan harga pasar. Keuntungan oleh peternak dengan system ini adalah harga yang tergantung harga pasar jika harga pasar tinggi maka peternak akan mendapatka keuntungan yang besar, namun manakala harga turun maka peternak akan mengalami kerugian, serta peternak menanggung sendiri resiko dari kemungkinan gagal panen atau hal lain yang tak diinginkan.

III.    Tinjauan Syari’ah dalam Kerjasama Bisnis (Syirkah)
Islam sebagai agama yang menyeluruh (sumul) dan komprehensif telah memberikan batasan-batasan dan aturan kepada manusia dalam melakukan seluruh aktifitasnya dalam kehidupan sehari-hari (muamalah) karena fitrahnya sebagai mahluk sosial. Dalam hal kegiatan ekonomi misalnya juga tidak luput dari system isalam itu sendiri yang dikenal dengan sistem syari’ah untuk melakukan kerjasama bisnis yang diistilahkan dengan “syirkah”.
Sistem kerja sama bagi hasil merupakan sistim dimana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan  di masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan. Bentuk kesepakatan kerjasama “syirkah” secara umum dibedakan atas dua yaitu:
1.         Mudharabah  dimana pengelola  kerjasama bisnis bagi hasil antara dua pihak atau lebih yang mana pihak pertama mempunyai modal 100 % sedangkan pihak lain hanya bermodaklan skill saja. Hasil usaha dibagi secara adil sesuai perjanjian dari awal.
2.         Musyarakah dimana pengelola dan pemodal ditanggung bersama oleh pihak-pihak yang terkait didalamnya. Kedua bela pihak sama-sama mempunyai modal dan skill. Hasil usaha dibagi secara adil sesuai kesepakatan bersama.
Namun dalam sumber-sumber lain dijelaskan, syirkah dalam fiqih Islam ada beberapa macam: di antaranya yang kembali kepada perjanjiannya, dan ada juga yang kembali kepada kepemilikan. Dari sisi hukumnya menurut syariat, ada yang disepakati boleh, ada juga yang masih diperselisihkan hukumnya. Defenisi Syirkah dalam bahasa Arabnya berarti pencampuran atau interaksi. Bisa juga artinya membagikan sesuatu antara dua orang atau lebih menurut hukum kebiasaan yang ada. Sementara dalam terminologi ilmu fiqih, arti syirkah yaitu: Persekutuan usaha untuk mengambil hak atau beroperasi. Aliansi mengambil hak, mengisyaratkan apa yang disebut Syirkatul Amlak. Sementara aliansi dalam beroperasi, mengisyaratkan Syirkatul Uqud (Syirkah Transaksional).
Macam-macam Syirkah Transaksional
Syirkah transaksional menurut mayoritas ulama terbagi menjadi beberapa bagian berikut:

1.         Syirkatul "Inan. 
Yakni persekutuan dalam modal, usaha dan keuntungan. Yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih dengan modal yang mereka miliki bersama untuk membuka usaha yang mereka lakukan sendiri, lalu berbagi keuntungan bersama. Jadi modal berasal dari mereka semua, usaha juga dilakukan mereka bersama, untuk kemudian keuntungan juga dibagi pula bersama. Syirkah semacam ini berdasarkan ijma" dibolehkan berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148). namun secara rincinya masih ada yang diperselisihkan. Jadi merupakan persukutan dalam modal, usaha dan keuntungan. Hukum Syirkatul diperbolehkan berdasarkan ijma, kalaupun ada perbedaan hanya dalam beberapa bentuk rincian dan satuannya.
Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).” (An-Nabhani, 1990: 151).
Rukun-rukun Syirkatul 'Inan ada tiga:  pertama: Dua transaktor. Keduanya harus memiliki kompetensi, yakni akil baligh dan mampu membuat pilihan. Boleh saja beraliansi dengan non muslim dengan catatan pihak non muslim itu tidak boleh mengurus modal sendirian, karena dikhawatirkan akan memasuki lubang-lubang bisnis yang diha-ramkan. Kalau segala aktivitas non muslim itu selalu dipantau oleh pihak muslim, tidak menjadi masalah.
Yang patut diingatkan pada kesempatan ini adalah bahwa beraliansi dalam bisnis dan berinteraksi seringkali melahirkan ke-akraban dan cinta kasih yang terkadang menyebabkan -dalam aliansi muslim dengan kafir- lemahnya pemahaman al-Wala (loyalitas) dan al-Bara" (antipati). Hal itu merupakan salah satu lubang bencana.
Maka seorang muslim terus meninggikan nilai keyakinan-nya dan bekerja agar andilnya dalam kerja sama itu menjadi pintu dakwah mengajak ke jalan Allah, dengan kenyataan dirinya seba-gai muslim yang jujur dan amanah dalam pandangan pihak kafir, demikian juga dengan sikapnya yang selalu menepati janji dan komitmen bersama.
Kedua: Objek Transaksi. Objek transaksi ini meliputi modal, usaha dan keuntungan. Pertama: Modal. Disyaratkan dalam modal tersebut beberapa hal berikut:
1.      Harus diketahui tapi kalau tidak diketahui jumlahnya dan hanya spekulatif, tidaklah sah. Karena modal itu akan menjadi rujukan ketika kerjasama dibubarkan. Dan tidak mungkin dilakukan kerjasama tanpa mengetahui jumlah modal.
2.      Hendaknya modal itu riil. Yakni ada pada saat transaksi pembelian karena dengan itulah kerjasama bisa terlaksana, sehingga eksistensinya dibutuhkan. Kalau saat transaksi tidak ada, maka transaksi dianggap batal.
3.      Tidak merupakan hutang pada orang yang kesulitan, demi menghindari terjadinya riba. Karena dalam hal ini orang yang berhutang bisa tertuduh menangguhkan pembayaran hutangnya agar bertambah nilainya. Atau orang yang memberi hutang tertu-duh telah mengorbankan diri menuntut orang yang berhutang untuk menambah jumlah hutangnya karena telah dikembangkan.
Pencampuran modal dan kesamaan jumlahnya bukan merupakan syarat sahnya bentuk syirkah ini. Akan tetapi garansi terhadap modal yang hangus hanya bisa dilakukan dalam aliansi ini dengan adanya pencampuran harta secara hakiki atau secara justifikatif. Caranya, masing-masing melepaskan modal dari pe-ngelola dan tanggungjawabnya secara pribadi untuk dimasukkan dalam pengelolaan dan tanggung jawab bersama.
Dan tidak disyaratkan bahwa kedua harta tersebut harus sama jenisnya, sebagaimana yang menjadi pendapat madzhab Hanafiyah dan Hambaliyah. Misalnya salah satu pihak meng-operasikan modalnya dalam bentuk dolar dan pihak lain dalam bentuk Rupiah. Ketika hendak dipisahkan, kedua modal itu dihi-tung dengan dua cara berbeda:
1.      Kalau dalam mengelola bisnis mereka menggunakan kedua jenis mata uang tersebut secara bersamaan, masing-masing membawa pulang uangnya baru kemudian keuntungan yang ada dibagi dua.
2.      Kalau mereka hanya menggunakan satu jenis mata uang dalam beroperasi, sementara masing-masing modal sudah ditukar dengan mata uang tersebut, maka dengan dasar itu juga modal mereka telah dipisahkan dan penilaiannya didasari oleh mata uang tersebut menurut nilai tukarnya pada hari transaksi.
Kedua: Usaha. Adapun berhubungan dengan usaha, masing-masing pihak bebas mengoperasikan modalnya sebagaimana layaknya para pedagang dan menurut kebiasaan yang berlaku di antara mereka. Kalau orang yang mengelola modal orang saja bebas mengope-rasikan hartanya, apalagi bisnis patner dalam syirkah ini. Karena mengelola modal orang lain hanya merupakan syirkahpraktis, bukan syirkah substansial. Sementara dalam kasus ini yang terjadi adalah syirkah praktis dan sekaligus substansial secara bersamaan.
Masing-masing pihak yang beraliansi bisa menyerahkan usaha itu kepada yang lain, namun itu dijadikan syarat pada awal transaksi menurut pendapat ulama yang paling benar. Karena hak untuk mengoperasikan harta dimiliki oleh mereka berdua. Namun masing-masing pihak juga bisa mengundurkan diri dari haknya tersebut untuk diberikan kepada pihak lain, lalu menyerahkan operasionalnya kepada orang tersebut, sesuai dengan kepentingan yang ada.

Ketiga: Keuntungan. Sehubungan dengan keuntungan itu disyaratkan sebagai berikut:
1.      Harus diketahui jumlahnya. Kalau jumlahnya tidak dike-tahui, syirkah tersebut dianggap rusak, kecuali kalau terdapat kebiasaan setempat yang sudah merata yang membolehkan pem-bagian keuntungan dengan cara tertentu, hal itu boleh dilakukan.
2.      Harus merupakan sejumlah keuntungan dengan prosen-tasi tertentu. Kalau berupa nilai uang tertentu saja, maka syirkah itu tidak sah. Karena ada kemungkinan bahwa aliansi tersebut hanya menghasilkan keuntungan kadar itu saja, sehingga tidak bisa dibuktikan syirkah dalam keuntungannya.
Boleh saja terdapat perbedaan keuntungan antara sesama mitra usaha. Tidak disyaratkan bahwa keuntungan harus sesuai dengan jumlah modal. Karena keuntungan selain juga ditentukan oleh modal, juga ditentukan oleh usaha. Terkadang salah seorang di antara mereka memiliki keahlian yang lebih dari yang lain, se-hingga tidak rela bila disamaratakan keuntungan mereka. Itu adalah pen-dapat yang dipilih oleh Hanafiyah dan Hambaliyah.
Rukun ketiga: Pelafalan akad/perjanjian. Perjanjian dapat terlaksana dengan adanya indikasi ke arah itu menurut kebiasaan, melalui ucapan dan tindakan, berdasarkan kaidah yang ada bahwa yang dijadikan ukuran adalah pengertian dan hakikat sebenarnya, bukan sekedar ucapan dan bentuk lahiriyahnya saja.

2.   Syirkatul Abdan (syirkah usaha). 
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya) (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35). Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng). Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).
Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” (HR. Abu Dawud dan al-Atsram). Hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau (An-Nabhani, 1990: 151).

3.   Syirkatul Wujuh.
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154).
Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan (An-Nabhani, 1990: 155-156).

4.   Syirkatul Mufawadhah.
Yakni setiap kerjasama di mana masing-masing pihak yang beraliansi memiliki modal, usaha dan hutang piutang yang sama, dari mulai berjalannya kerja sama hingga akhir. Yakni kerja sama yang mengandung unsur penjaminan dan hak-hak yang sama dalam modal, usaha dan hutang. Kerja sama ini juga dibolehkan menurut mayoritas ulama, namun dilarang oleh Syafi"i. Kemungkinan yang ditolak oleh Imam Syafi"i adalah bentuk aplikasi lain dari Syirkatul Mufawadhah, yakni ketika dua orang melakukan perjanjian untuk bersekutu dalam memiliki segala keuntungan dan kerugian, baik karena harta atau karena sebab lainnya.
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.

5.   Syirkah Mudhârabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl) (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).
Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah (An-Nabhani, 1990: 152).
Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi Shalallahu alaihi wasalam) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/‘âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.

IV.    Kesimpulan dan Saran
Adapun kesimpulan dari uraian diatas adalah, system kemitraan usaha ayam pedaging dengan pola inti plasma kalau dibandingkan dengan system bagi hasil sesuai syariah lebih dekat pada system musyrakah karena masing-masing pihak mengeluarkan modal usaha walaupun modalnya bukan berbentuk uang tapi berbentuk barang/ benda. Namun dalam hal bagi hasil system kemitraan inti plasma tidak mencirikan system musyarakah karena tidak jelasnya bagi hasil antara inti dengan plasma, bahkan dalam hal resiko lebih banyak diterma oleh peternak. Dari hal tersebut terlihat ketimpangan dari system kemitraan yang berkembang saat ini pada peternakan ayam pedaging, inti mendapatkan untung yang besar dengan resiko kecil sedangkan keuntungan plasma sangat kecil dan dengan resiko yang besar.
Saran dari pola system kerjasama kemitraan peternakan ayam pedaging ini, perlu kiranya untuk mengkaji kembali system kemitraan ayam pedaging yang adil dan saling menguntungkan antara yang satu dengan yang lain sesuai dengan prinsip syari’ah, sehingga kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan.

Sumber :
1.      Alsofwah.or.id
2.      Daryanto A. 2009. Bunga Rampai Pemasaran Agribisnis, IPB Press. Bogor
3.      ……………,2010. Dinamika dan Daya Saing Indudstri Peternakan, IPB Press. Bogor
4.      Chapra U, 2007. Masa Depan Ilmu Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam, GIP. Jakarta
5.      Muamalah.com
6.      Qardawi Y, 2003. Masyarakat Berbasis Syariat Islam (Hukum, Perekonomian, Perempuan), Era Intermedia. Solo

“NEGARA KAYA TERNAK TIDAK AKAN PERNAH MISKIN”

Sejak dilakukan domestikasi  ( m enjinakan) hewan buruan oleh manusia, yang pada awalnya hanya untuk kebutuhan pangan keluarga sehari-hari, ...