Rabu, 10 April 2013

STRATEGI DAN KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING SAPI BERDASARAKAN ANALISIS INTERNAL DAN EKSTERNAL


  1. PENDAHULUAN

1.1.   Latar Belakang
Permintaan terhadap bahan pangan mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, pertumbuhan jumlah penduduk tidak sebanding dengan pertumbuhan produksi pangan karena pertumbuhan penduduk berdasarkan deret angka sedangkan pertumbuhan produksi pngan berdasarkan deret ukur. Salah satu komoditi bahan pangan yang mengalami peningkatan yang signifkan adalah daging sapi. Peningkatakan permintaan terhadap daging sapi disebaabkan oleh beberapa faktor dianataranya : tingginga pendapatan perkapita pependuduk, tingginya kesadaran untuk mengkonsumsi pangan yang bergizi tinggi dan tingginya permintaan terhadap daging olahan sehngga permintaan induastri pengolahan daging semakin tinggi.
Peningkatan permintaan daging sapi dalam negeri merupakan peluang dan sekaligus tantangan bagi usaha peternakan dalam negeri. Peluang dengan terbukanya pasar domestic yang luas sedangkan tantangannya adalah produk daging impor akan sangat mudah untuk masuk ke pasar domestic. Selama ini kebutuhan daging dalam negeri dipasok dari daging sapi lokal, daging sapi impor dan dari impor daging beku. Kebutuhan daging mengalami peningkatan dari tahun ketahun dan terjadinya perubahan pola konsumsi konsumen yang mengkonsumsi pangan olahan dengan mutu yang tinggi. Kebutuhan daging sapi saat ini adalah 484.000 ton dengan pasokan dari dalam negeri sebesar 399.320 ton atau 82,5 % dari kebutuhan dan sisanya 84.740 ton atau 17,5 % dipenuhi  dari impor.
Tingginya permintaan daging sapi tidak berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan peternak bahkan harga sapi ditingkat peternak sering mengalami penurunan hal ini disebabkan daya saing daging sapi dalam negeri masih rendah. Daging sapi dalam negeri hanya dipasarkan di pasar-pasar tradisional sedangkan untuk pasar modern dan industri pengolahan, berasal dari daging impor. Rendahnya daya saing daging sapi lokal dapat dilihat dari mutu dan standar daging sapi lokal yang belum memenuhi standar pasar modern dan industri, disamping itu harga daging sapi impor lebih kompetitif dibandingkan harga daging sapi lokal.
Berkaitan dengan hal tersebut dalam rangka peningkatan daya saing peternakan sapi dalam negeri dan peningkatan ketahanan pangan dan swasembada pangan nasional, pemerintah telah mencanangkan program swasembada daging sapi dalam negeri mulai dari tahun 2005-2010, namun belum dapat tercapai oleh karena itu pada tahun 2010 pemerintah kembali mencnangkan program swasembada gaging sapi pada tahun 2014. Diperkirakan pada tahun 2014 indonesia sudah mampu untuk mencukupi kebutuhan daging sapi dalam negeri dari sapi lokal walaupun ada impor diperkirankan hanya sebesar 10 % saja dari kebutuhan daging dalam negeri.
Indonesia mempunyai peluang untuk pengembangan ternak sapi, hal ini terlihat dari potensi komparatif yang dimiliki mulai dari sumber daya alam, sumber pakan, iklim, dan topografi serta sumber daya manusia sangat mendukung untuk pengembangan ternak sapi. Disamping itu beberapa wilayah di Indonesia memiliki keunggulan lokal dalam pengembangan ternak sapi, seperti di beberapa wilayah timur (NTT, NTB, Bali dan Sulawesi).

1.2.   Rumusan Masalah
Kebutuhan daging sapi dalam negeri belum dapat sepenuhnya dipenuhi dari produksi daging sapi dalam negeri sehingga untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri harus diimpor. Indonesia pada dasarnya mempunyai potensi untuk pemengembangan ternak sapi dalam negeri hal ini didukung oleh potensi sumber daya alam, disamping itu sector peternkan akan dapat untuk meningkatkan pendapatan petani. Untuk mempercepat pertumbuhan produksi sapi dalam negeri pemerintah telah menetapkan program swasembada daging sapi dalam negeri pada tahun 2014. Untuk mendukung program tersebut dan meningkatkan daya saing peternak dalam negeri pemerintah telah menurunkan kuota impor daging secara bertahap setiap tahunnya sehingga diharapkan pada tahun 2014 Indonesia mampu untuk berswasembada daging sapi ataupun bisa mengurangi impor daging sapi hingga diharapkan impor hanya sekitar 10 persen dari kebutuhan daging dalam negeri.

1.3.   Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk melakukan analisis terhadap program dan kebijakan swasembada daging sapi tahun 2014 sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai pembelajaran bagi penulis untuk melakukan analisis strategi kebijakan pemerintah untuk mencapai swasembada daging sapi serta dapat memenuhi tugas penulisan makalah pada matakuliah Strategi Kebijakan Agribisnis.
  
1.4.   Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari penulisan makalah ini adalah pada bagian pertama menjelaskan tentang konsep ketahanan pangan dan swasembada pangan, bagian kedua menjelaskan tentang program dan rencana aksi Kementerian Pertanian untuk mencapai swasembada daging sapi tahun 2014, bagian ketiga melakukan analisis strategi manajemen program swasembada daging sapi melalui analisis lingkungan internal dan eksternal, bagian ke empat evaluasi terhadap kebijakan swasembada daging sapi serta bagian akhir dari penulisan adalah kesimpulan dan saran.

1.5.   Metoda Penulisan
Metode penulisan ini adalah berdasarkan studi pustaka dan setelah itu dilakukan analisis strategi kebijakan swasembada daging sapi dengan diagram IFAS dan EFAS serta dilakukan anlisis SWOT kemmudian dilakukan evaluasi terhadap program-program pencapaian swasembada daging sapi tahun 2014.


II.       KONSEP DASAR KETAHANAN DAN SWASEMBADA PANGAN

2.1.   Konsep Ketahanan Pangan
Dalam PP No.68/2002 yang dimaksud dengan ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Ketersediaan pangan dapat dipenuhi oleh sumber produksi dalam negeri sendiri atau dari sumber lain. Menurut Nainggolan (2009) selain aspek diatas yang tidak kalah penting dalam ketahanan pangan adalah kemudahan bagi rumah tangga/ konsumen untuk mengakses pangan itu sendiri. Menurut World Bank (1986) ketahanan pangan adalah akses oleh semua orang sepanjang waktu terhadap pangan yang cukup untuk hidup aktif dan sehat. Sementra itu menurut FAO (1996), ketahanan pangan ada ketika semua orang, setiap saat, memiliki akses fisik dan ekonomi yang menandai terhadap makanan yang aman dan bergizi untuk memenuhi pangan mereka sesuai dengan preferensi pangan untuk hidup sehat dan aktif.  Sedangkan menurut UU Pangan No. 7/1996 yang telah direvisi menjadi UU Pangan No.18/2012 adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlahnya dan mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
Konsep ketahanan pangan tidak terlepas dari kebijakan ketahanan pangan dunia yang diusung PBB pada tahun 1971 dengan tujuan untuk membebaskan dunia terutma negara-negara berkembang dari krisis produksi dan supplai makanan pokok (Karun, 2012). Fokus ketahanan pangan pada masa itu menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan pokok dan membebaskan daerah dari krisis pangan. Sampai sekarang konsep ketahanan pangan menjadi konsep utama lembaga dunia dan juga negara dalam upaya mengatasi persoalan pangan, termasuk kedalamnya masalah ancaman krisis pangan.
Untuk mengukur ketahanan pangan dari sisi kemandirian dapat dilihat dari ketergantungan ketersediaan pangan nasional minimal 90 persen dipenuhi dari produksi dalam negeri (Suryana, 2004). Pentingnya ketahanan pangan karena pangan merupakan kebutuhan hakiki manusia yang harus dipenuhi, negara sangat menjamin kelangsungan hidup seluruh warganya salah satu yang harus dipenuhi adalah kebutuhan pangan. Pangan sangat berperan untuk peningkatan sumber daya manusia.

2.2.   Konsep Swasembada Pangan
Konsep swasembada pangan pada dasarnya adalah bagaimana terpenuhinya kebutuhan pangan dalam negeri dari hasil pertanian negeri sendiri. Swasembada pangan sangat erat kaitannya dengan kedaulatan pangan. Swasembada pangan lebih luas dari ketahanan pangan, ketahanan pangan hanya berbicara pada tataran bagaimana pangan selalu ada dan dapat diakses oleh penduduknya tanpa melihat dari mana asal pangan tersebut, sedangkan swasembada pangan adalah penyediaan pangan dalam negeri berasal dari hasil pertanian dalam negeri sendiri.
Negara-negara maju sangat konsen dalam mewujudkan pangannya, bahkan memeberikan subsidi yang besar kepada petani demi untuk mencukupi pangannya. Seperti negara-negara OECD memberikan subsidi kepada petani hingga sampai FOB. Lembaga yang sering menyuarakan swasembada/ kedaulatan pangan adalah La Via Campesina, et al (2008) dalam Karun (2012), menjelaskan bahwa kedaulatan pangan memprioritaskan produksi pertanian lokal untuk mendukung ketersediaan bahan pangan untuk masyarakat. Pendekatan lemabaga ibid an kembaga yang berafiliasi dengannya adalah pendekatan hak asasi manusia, yaitu kebutuhan hak asasi manusia dari kontek kebutuhan pangan.
Dalam salah satu laporan tentang hak atas pangan yang disusun oleh PBB pada tahun 2004, kedaulatan pangan didefinisikan sebagai hak rakyat, komunitas, dan negeri-negeri untuk menetukan sistem produksinya sendiri dalam lapangan pertanian, perikanan, pangan, dan tanah serta kebijakan lain yang secara ekologi, social dan budaya sesuai dengan keadaan khusus (keunikan masing-masing).

2.3.   Swasembada Daging Sapi
Daging merupakan pangan yang bernilai gizi tinggi penting dalam peningkatan sumber daya manusia. Sub sektor peternakan merukan penyumbang utama untuk penyedia pangan bergizi tinggi seperti daging, telur dan susu. Selain penyedia pangan sub sektor peternakan juga sangat berperan dalam peningkatan lapangan pekerjaan baik di sektor input produksi, budidaya, dan sektor jasa lainnya serta peningkatan pendapatan  petani.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar kemandirian pangan menjadi sangat penting. Menurut Yusdja dan Ilham (2006), Industri peternakan yang ketergantungannya tinggi terhadap bahan baku dan teknologi impor  memiliki resiko tinggi. Ketergantungan pangan pada negara lain akan sangat berbahaya bagi kedaulatan bangsa tersebut, oleh karena pentingnya pangan maka negara-negara maju sangat konsen untuk meningkatkan ketahanan pangannya tidak salah kiranya sebuah ungkapan dari preseiden Amerika, Hendry Kissinger yang mengatakan “ control oil and you control the nation, control food and you control the people”. Pepatah Arab juga mengatakan “Negara yang kaya ternak tidak akan pernah miskin, negara yang miskin ternak tidak akan pernah kaya” (Capambel dan Laslai)
Ketergantungan sapi bibit impor untuk meningkatkatkan populasi dalam negeri akan sangat berbahaya ketika permintaan daging semakin meningkat, akibatnya sapi untuk tujuan pembibitan dipotong demi memenuhi permintaan pasar/konsumen. Oleh karena itu ketahanan pangan dan swasembada pangan harus menjadi sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan untuk mempertahankan kehidupan.
Swasembada berarti 100 persen kebutuhan daging sapi dalam negeri dipenuhi oleh produksi ternak dalam negeri. Swasembada daging sapi sudah dicanangkan semenjak tahun 2005 ditargetkan dapat tercapai pada tahun 2010, namun kenytaannya belum dapat tercapai sehingga pemerintah menargetkan kembali swasembada baru tercapai pada tahun 2014. Konsep swasembada daging sapi tentu bukanlah hal yang tidak mungkin dicapai jika ada kesungguhan untuk mebangun agribisnis ternak sapi potong dalam negeri.
Potensi pasar dan sumber daya yang mendukung seharusnya menjadi peluang untuk pengembangan ternak sapi potong dengan keunggulan komparatif dan kompetitif dipasar lokal maupun ekspor. Beberapa kajian yang di review Siregar dan Ilham (2003) menunjukan bahwa usaha peternakan Indonesia memberikan keuntungan dan mempunyai keunggulan komparatif.
Namun bukan tidak ada kesulitan dalam mewujudkan swasembada daging sapi, ada beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya pencapaian swasembada : dibagian hulu adalah 1) sebagian besar usaha peternakan adalah petani kecil dengan skala kepemilikan 1-3 ekor yang hanya sebagai tabungan bukan pendapatan utama, 2) Manajemen peternakan masih sangta sederhanan, 3) produktivitas ternak rakyat masih rendah dan 4) manajemen peternakan masih tradisional sedangkan permasalahan hilir adalah 1) pasar yang semakin terbuka sehingga produk/daging impor tidak dapat dihambat kalau tidak ada alasan yang kuat, 2) Belum terintegrasinya kegiatan industri dengan kegiatan penggemukan sapi, bahkan industri cenderung menggunakan produk impor karena mudah didapatkan dan harga yang lebih kompetitif, 3) Preferensi konsumen terutama di restoran daging dan supermarket lebih menyukai daging sapi impor dengan alasan-alasan tertentu.


III.    KEBIJAKAN DAN STRATEGI SWASEMBADA DAGING SAPI TAHUN 2014

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 19/ Permentan/OT.140/2/2010 tentang Pedoman Umum Program Swasembada Daging tahun 2014, telah dirumuskan dan dilaksanakan berbagai sub program untuk mencapai program swasembada daging sapi tersebut. Dalam blu print program swsembada daging sapi tahun 2014 yang sudah di revisi tahun 2012 maka beberapa program yang akan dilakukan untuk mencapai swasembada adalah penyediaan bakalan sapi dan kerbau, peningkatan produktivitas dan reproduktivitas sapi lokal, pengendalian sapi/kerbau betina produktif, penyediaan bibit sapi/kerbau lokal dan pengaturan stock daging sapi/kerbau dalam negeri. Untuk lebih jelas masing-masing program tersebut didukung oleh kegiatan-kegiatan teknis sebagaimana diuraikan dibawah ini :
3.1.      Penyediaan Bakalan/Daging Sapi/Kerbau Lokal
1.      Pengembangan usaha pembiakan dan penggemukan sapi/kerbau lokal
Kegiatan ini ditargetkan untuk meningkatkan populasi ternak sapi/kerbau dan produksi daging, melalui pelaksanaan kegiatan operasional sebagai berikut:
1)      Pengembangan usaha penggemukan atau tunda potong sapi/kerbau lokal dan sapi persilangan (IB) melalui penguatan modal usaha kelompok peternak, dengan cara memberikan fasilitas kredit murah maupun pemberian modal abadi (dalam bentuk bantuan sosial) dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, atau pemerintah daerah kepada kelompok peternak yang dipilih berdasarkan kriteria tertentu.  
2)      Peningkatan usaha agribisnis sapi potong dan kerbau untuk usaha penggemukan sekaligus mempercepat peningkatan populasi ternak melalui Sarjana Membangun Desa (SMD), dengan cara pemberian kredit murah jangka panjang dan atau modal abadi (dalam bentuk bantuan sosial) dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, atau pemerintah daerah kepada kelompok peternak yang dimotori oleh peternak berpendidikan minimal sarjana/D3 Peternakan/Keswan yang dipilih berdasarkan kriteria tertentu.

2.      Pengembangan pupuk organik dan biogas
Dalam rangka meningkatkan pengembangan usaha penggemukan sapi lokal dan atau sapi persilangan (IB) melalui pola Kereman, kegiatan ini ditargetkan untuk menghasilkan pupuk organik dan biogas melalui kegiatan operasional sebagai berikut :
1)      Pengembangan pupuk organik dan jaringan pemasaran, dengan cara:
1)      Pemberian bantuan dana untuk membangun rumah kompos (bangunan penyimpan kotoran ternak untuk diproses lebih lanjut) beserta semua perangkatnya di kelompok serta untuk pengadaan ternak.
2)      Pemberian pelatihan manajemen dan organisasi bagi kelompok peternak pengelola rumah kompos, beserta pelatihan usaha agribisnis sapi potong berbasis sumberdaya lokal.
3)      Fasilitasi promosi dan pengembangan jaringan pemasaran kompos dan tata-niaga ternak.

3.      Pembangunan instalasi biogas untuk penyediaan energi alternatif di  pedesaan, dengan cara:
4)      Pemberian bantuan dana untuk membangun instalasi biogas beserta seluruh perangkat penunjangnya di kelompok peternak yang populasinya memiliki jumlah minimal tertentu dan secara fisik lokasi kandangnya berkelompok.
5)      Pemberian pelatihan dalam pemanfaatan biogas secara optimal bagi anggota kelompok  peternak.
3.2.      Pengembangan integrasi ternak ruminansia
Kegiatan pengembangan integrasi ternak ruminansia ditargetkan untuk memberikan nilai tambah bagi pengembangan usaha budidaya tanaman, sekaligus meningkatkan populasi ternak sapi melalui kegiatan operasional sebagai berikut :
1.      Integrasi ternak ruminansia untuk usaha pembiakan dan penggemukan, dengan cara:
1)                   Koordinasi dengan instansi terkait (Disnak/Disbun, Ditjenbun, Ditjen Tanaman Pangan).
2)          Fasilitasi pengadaan ternak dan sarana prasarana pendukung (pengolah pakan) untuk kelompok peternak/pekebun.
2.      Pengembangan teknologi  alat mesin pengolah pakan dan litbang pakan alternatif (limbah agro-industri)
3.      Integrasi ternak sapi potong  melalui program  CSR/kemitraan  dan pemanfaatan lahan kehutanan.
1)       Sosialisasi dan koordinasi dengan pihak terkait (perkebunan kelapa sawit besar dan BUMN/PTP perusahaan pertambangan, Kementerian Kehutanan, Disnak/Disbun dll).
2)       Fasilitasi kerjasama antara Pemda dengan perusahaan perkebunan
3)       Fasilitasi kelompok untuk pemanfaatan lahan kehutanan
3.3.      Peningkatan jumlah dan kualitas Rumah Potong Hewan (RPH)
Peningkatan kualitas RPH ditargetkan untuk penerapan hygiene dan sanitasi di RPH dalam upaya penyediaan pangan asal ternak yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dan Halal). Dengan kegiatan ini diharapkan akan terwujud 35 RPH di 20 provinsi yang memenuhi standar internasional. Kegiatan ini diharapkan dapat memudahkan pencegahan pemotongan sapi betina produktif. Adapun pelaksanaan kegiatan operasionalnya meliputi :
1.      Pembangunan RPH baru di provinsi yang memiliki potensi dalam usaha pemotongan hewan namun belum memiliki fasilitas RPH yang memenuhi persyaratan teknis hygiene-sanitasi dengan cara:
1)     Pembangunan RPH baru yang memenuhi persyaratan teknis hygiene-sanitasi dan kesejahteraan hewan, baik dari aspek lokasi, prasarana jalan dan air bersih, bangunan, dan peralatan.
2)     Penyiapan Sumberdaya Manusia RPH yang terampil dan terlatih.
3)     Peningkatan kemampuan pengelola RPH dalam menerapkan manajemen RPH sebagai sarana pelayanan masyarakat untuk menghasilkan produk yang ASUH.
2.      Renovasi RPH yang sudah ada dengan cara:
1)      Fasilitasi perbaikan bangunan dan/atau peralatan RPH sehingga mampu menerapkan praktek hygiene-sanitasi dan kesejahteraan hewan.
2)      Pembinaan pelayanan teknis kesmavet di RPH.
3)      Penatalaksanaan manajemen dan operasional RPH yang mengacu kepada prinsip sistem jaminan keamanan dan kehalalan pangan.
3.4.  Peningkatan Produktivitas dan Reproduktivitas Ternak Sapi Lokal
1.      Optimalisai IB (Inseminasi Buatan) dan InKA (Indukan Kawin Alam)
Kegiatan ini ditargetkan untuk meningkatkan jumlah kelahiran melalui teknologi IB dan InKA, dengan melaksanakan kegiatan operasional sebagai berikut:
a.       Penguatan SDM dan Kelembagaan IB
1)      Pengembangan SPIB
2)      Pemberdayaan Pos IB atau Puskeswan
3)      Pelatihan Petugas Teknis IB (Inseminator, PKB, ATR dll)
b.      Pengadaan sarana dan prasarana IB
1)                       Pengadaan bahan dan alat IB
2)                       Pengadaan sarana distribusi semen beku
3)                       Pengadaan sarana transportasi (Roda -2)
c.       Sinkronisasi Birahi dan Kelahiran ganda
1)      Pemeriksaan status reproduksi akseptor
2)      Pengadaan bahan dan alat sinkronisasi
3)      Penyerempakan birahi
4)      IB dan TE
5)      PKB
6)      Panen pedet hasil sinkronisasi dan kelahiran ganda
d.      Fasilitasi produksi semen sapi lokal dan kerbau di BIBD
1)                              Penguatan kelembagaan InKA
2)                              Workshop InKA
3)                              Pelatihan petugas InKA
4)                              Optimalisasi InKA
e.       Pengadaan dan distribusi pejantan pemacek

2.      Penyediaan dan pengembangan pakan dan air
Kegiatan ini ditargetkan untuk dapat memenuhi kebutuhan air minum dan pakan pada saat musim kering, seiring dengan peningkatan jumlah ternak sapi, dengan melaksanakan kegiatan operasional sebagai berikut:
a.       Penyediaan hijauan pakan berkualitas
1)   Pengembangan sumber benih/bibit Hijauan Pakan Ternak (HPT)
2)   Gerakan pengembangan pakan berkualitas (Gerbangpatas)
3)   Penguatan dan pengembangan  serta perluasan areal padang penggembalaan
4)   Perluasan areal  kebun HPT
b.      Aplikasi teknologi dan pengembangan industri pakan ruminansia.
1)                                    Pengembangan unit pengolah pakan (UPP)
2)                                    Pengembangan lumbung pakan (feed bank)
c.       Bimbingan teknologi pakan
1)      Pengembangan kualitas SDM pakan
2)      Pengembangan laboratorium pakan daerah

3.      Penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan kesehatan hewan
Kegiatan ini ditargetkan untuk mengurangi tingkat kegagalan reproduksi sapi betina produktif yang telah dikawini/diinseminasi, dengan melaksanakan kegiatan operasional sebagai berikut:
a.          Penanggulangan gangguan reproduksi, dengan cara:
1)      Pemeriksaan akseptor terhadap status penyakit Brucellosis (khusus di daerah yang belum bebas Brucellosis);
2)      Peningkatan kualitas SDM yang menangani penyakit reproduksi;
3)      Pengadaan obat-obatan dan hormonal;
4)      Penanganan ternak yang mengalami gangguan reproduksi;
5)      Monitoring, evaluasi, dan pelaporan.
b.         Peningkatan pelayanan kesehatan hewan, dengan cara:
2)       Pembangunan pusat kesehatan hewan di wilayah padat ternak.
3)       Pemeriksaan, identifikasi, dan pemetaan kasus parasit internal dan kematian pedet.
4)       Pengadaan obat-obatan parasit internal, terapi antibiotika, dan penambah daya tahan.
5)       Monitoring, evaluasi dan pelaporan.


3.5.  Pengendalian Sapi/Kerbau Betina Produktif
1.         Pengendalian Sapi/Kerbau Betina Produktif
            Kegiatan ini ditargetkan untuk mencegah pemotongan sapi/kerbau betina produktif sekaligus memperbaiki produktivitasnya melalui penyelamatan dan pemberian insentif sapi/kerbau betina produktif dengan kegiatan operasional sebagai berikut :
a.       Fasilitasi pemberian insentif untuk menyelamatkan sapi/kerbau betina bunting.
b.      Fasilitasi untuk menyelamatkan dan menjaring sapi/kerbau betina produktif.
c.       Pembinaan kelompok peternak yang sudah  mengembangkan sapi betina produktif dan kelompok peternak pembibit.
2.         Penyediaan Bibit Sapi/Kerbau Lokal
Kegiatan ini ditargetkan untuk meningkatkan jaminan ketersediaan benih dan bibit sapi/kerbau yang berkualitas dalam rangka memenuhi kebutuhan sapi potong dan kerbau lokal sehingga produksi daging di dalam negeri dapat meningkat dan mencukupi kebutuhan sebagian besar daging sapi/kerbau, melalui pelaksanaan kegiatan operasional sebagai berikut:
3.         Penguatan kelembagaan pembibitan dan wilayah sumber bibit, dengan cara:
a.     Pengembangan pembibitan ternak melalui uji zuriat, uji performans, manajemen pembibitan terpadu
b.   Penguatan UPT/D pembibitan dan sinergisme antar UPT/D lingkup Kementan dalam rangka penyediaan bibit sapi unggul.
c.    Penetapan dan penguatan wilayah pembibitan.
4.         Pengembangan pembibitan sapi/kerbau di kelompok, dengan cara:
a.       Penambahan sapi bibit di kelompok peternak.
b.      Pembinaan dan pendampingan kelompok peternak calon pembibit.
c.       Penerapan GBP untuk menghasilkan bibit sesuai standar.
d.      Penyusunan kriteria Village Breeding Centre (VBC)
5.         Pengembangan usaha pembibitan melalui Skim Kredit (KUPS), dengan cara:
a.                     Pemetaan daerah (peserta KUPS) yang berpotensi dalam penyerapan KUPS.
b.                    Sosialisasi KUPS di pusat dan daerah
c.                     Koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan KUPS
d.                    Pembinaan, pendampingan dan pengawasan pelaksanaan KUPS
e.                     Identifikasi integrasi program KUPS dan program SMD/program lainnya
f.                     Monitoring dan evaluasi



3.6.  Pengaturan Stock Daging Sapi/Kerbau Dalam Negeri
1.      Pengaturan stock sapi bakalan dan daging.
a.       Pengaturan stock sapi bakalan.
Kegiatan ini ditargetkan untuk memberdayakan usaha peternakan sapi potong dan kerbau berbasis sumber daya lokal, melalui kegiatan operasional sebagai berikut:
1)         Penerapan regulasi impor sapi bakalan secara benar dan konsisten.
2)         Penyusunan regulasi setingkat Peraturan Menteri tentang pemasukan dan pengeluaran sapi potong dan bibitnya; serta penyusunan pedoman (SOP) untuk impor sapi bakalan.
3)         Pengawasan dan pemantauan kegiatan impor sapi potong bakalan sesuai dengan paraturan dan perundang-undangan yang ada.
4)         Pembinaan kepada perusahaan feedlot agar mengkonversi usahanya menjadi perusahaan penggemukan berbasis sapi lokal atau menjadi perusahaan pembibitan secara bertahap.
5)         Revitalisasi sistem karantina hewan terkait dengan impor bibit dan sapi bakalan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
b.      Pengaturan stock daging.
Kegiatan operasional ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing produk daging lokal, melalui kegiatan operasional :
1)      Penyempurnaan dan penegakan Peraturan Menteri Pertanian tentang pemasukan daging yang terjamin ASUH.
2)      Pengawasan dan pemantauan kegiatan impor daging sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
3)      Pembinaan kepada importir dan distributor daging agar mendukung pengembangan perdagangan daging  sapi lokal.
4)      Pengembangan klasifikasi potongan daging sapi lokal hasil penggemukan.
5)      Revitalisasi RPH dalam rangka menghasilkan daging yang berkualitas setara daging impor.

2.      Pengaturan distribusi dan pemasaran sapi/kerbau dan daging
a.          Pengaturan distribusi dan pemasaran sapi.
Kegiatan ini ditargetkan untuk menjamin ketersediaan sapi di dalam negeri dan menjaga stabilitas harga sapi, melalui kegiatan operasional sebagai berikut:
1)      Penetapan pengeluaran dan pemasukan sapi untuk keperluan bibit maupun pengembangan sapi antar wilayah oleh pemerintah daerah melalui koordinasi dengan pemerintah pusat.
2)      Penyusunan regulasi setingkat Peraturan Menteri tentang pendistribusian dan pemasaran sapi.
3)      Pengawasan dan pemantauan kegiatan perdagangan  sapi potong antar wilayah, serta pendistribusian dan pemasarannya.
4)      Revitalisasi sistem karantina hewan terkait dengan perdagangan sapi bibit dan sapi bakalan antar wilayah.
b.         Pengaturan distribusi dan pemasaran daging di dalam negeri.
Kegiatan operasional ini bertujuan untuk menjamin ketersediaan daging di dalam negeri dan menjaga stabilitas harga daging, melalui kegiatan   operasional :
1)      Peningkatan pengawasan dan pemantauan distribusi  daging impor
2)      Pengendalian distribusi daging impor berdasarkan kelengkapan fasilitas rantai dingin dari importir sampai ke ritel.



IV.    ANALISIS STRATEGI KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING

4.1.   Analisis Lingkungan Internal
Analisis lingkungan internal dilakukan untuk melihat potensi dalam pengembangan ternak sapi di Indonesia dengan melihat berbagai sumber daya yang dimiliki secara komparatif atau kompetitif untuk mencapai swasembada daging sapi. Pada anlaisis lingkungan internal juga melakukan penganalisaan kelemahan-kelemahan yang akan menghambat program pencapaian swasembada daging tersebut. Beberapa hal yang dapat dianalisis dari lingkungan internal dalam mewujudkan program swasembada daging sapi tahung 2014 sebagai berikut :

4.1.1.      Sumber Daya Alam
Indonesia sebagai negara agraris sangat berpotensi dalam pengmebangan pertanian termasuk sub sektor peternakan karena sumber daya alamnya sangat mendukung sektor tersebut. Beberapa hal yang terkait dengan sumber daya alam untuk pengembangan peternakan adalah: potensi iklim, suhu, sumber pakan dan sumber air serta plasmanutfah sapi lokal yang sangat potensial untuk dikembangkan.
Beberapa jenis ternak sapi lokal (plasmanutfah) yang dapat berkembang dengan baik sesuai dengan keadaan iklim Indonesia yang tropis adalah sapi bali yang banyak ditemui di wilayah timur yaitu di Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi. Di pulau jawa sapi lokal yang mampu berkembang dengan baik adalah sapi PO, Grati dan sapi Madura. Sedangkan di Pulau Sumatera sapi lokal yang dapat berkembang dengan baik adalah sapi Aceh yang terdapat Provinsi Aceh dan Sapi Pesisir yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat pesisir Sumatera Barat dan pesisr Bengkulu. Sapi-sapi lokal Nasional tersebut dapat tumbuh dan berkemabang dengan kondisi lingkungan tropis dan dengan kondisi pakan yang kurang baik namun feed per conception nya lebih tinggi dan daya tahan tubuhnya juga lebih baik serta peranakannya yang juga lebih tinggi.
Disamping ternal lokal di Indonesia juga sangat baik untuk dikekembangkan sapi-sapi komposit terutama dierah-daerah dataran tinggi yang suhunya hampir sama dengan suhu asal sapi tersebut, beberapa spesies sapi komposit yang dikembangkan adalah sapi Simental, Limosin, Brahman, Angus dan Frestian Holand (FH), sapi-sapi tersebut juga disilangkan dengan sapi lokal dalam rangka meningkatkan kulaitas sapi lokal. Dalam memuliakan kemurnian genetic ternak sapi juga harus melindungi ternak lokal/plasmanutfah dengan sistem konserfasi insitu.
Perkembangan populasi ternak sapi per provinsi tahun 2007-2011
No
Provinsi
Tahun
Growth
2007
2008
2009
2010
2011
1
Aceh
784,053
641,093
669,996
722,501
462,840
-35.94
2
Sumatera Utara
384,577
388,240
394,063
412,670
541,688
31.26
3
Sumatera Barat
450,823
469,859
492,272
513,255
327,013
-36.29
4
Riau   
114,156
161,202
172,394
170,105
159,855
-6.03
5
Kepulauan Riau  
7,627
7,893
8,323
8,693
17,338
99.45
6
Jambi   
125,114
149,042
164,256
177,710
119,877
-32.54
7
 Sumatera Selatan   
451,102
336,295
342,412
347,873
246,295
-29.20
8
Kepulauan Bangka Belitung  
14,065
9,373
9,624
9,852
7,733
-21.51
9
Bengkulu 
93,659
93,219
97,528
103,262
98,953
-4.17
10
Lampung 
410,165
425,526
463,032
496,066
742,776
49.73
11
D.K.I. Jakarta
-
-
-
-
1,691
-
12
Jawa Barat   
272,264
295,554
309,609
327,750
422,980
29.06
13
Banten  
54,887
60,680
73,515
69,727
46,900
-32.74
14
Jawa Tengah 
1,416,464
1,442,033
1,525,250
1,554,458
1,937,550
24.64
15
 D.I. Yogyakarta   
257,836
269,927
283,043
290,949
375,843
29.18
16
 Jawa Timur 
2,705,605
3,384,902
3,458,948
3,745,453
4,727,353
26.22
17
 Bali   
633,789
668,065
675,419
683,800
637,473
-6.77
18
 Nusa Tenggara Barat   
507,836
546,114
592,875
695,951
685,810
-1.46
19
 Nusa Tenggara Timur 
555,383
573,461
577,552
600,923
778,238
29.51
20
 Kalimantan Barat  
166,800
168,053
175,019
176,734
153,320
-13.25
21
 Kalimantan Tengah   
67,465
69,152
68,022
75,098
54,648
-27.23
22
Kalimantan Selatan 
202,037
210,633
218,065
228,545
138,691
-39.32
23
Kalimantan Timur   
81,746
90,028
101,176
108,321
90,748
-16.22
24
 Sulawesi Utara  
107,818
108,332
106,598
98,522
105,225
6.80
25
Gorontalo   
213,831
227,690
240,659
253,411
183,868
-27.44
26
 Sulawesi Tengah
197,794
203,893
210,535
211,769
230,682
8.93
27
Sulawesi Selatan 
696,615
703,303
729,066
848,916
983,985
15.91
28
Sulawesi Barat   
101,295
98,182
124,632
135,770
72,822
-46.36
29
Sulawesi Tenggara
227,265
237,360
253,171
268,138
213,736
-20.29
30
 Maluku  
75,458
74,654
79,162
83,943
73,976
-11.87
31
 Maluku Utara  
49,828
51,485
45,488
45,488
60,840
33.75
32
 Papua  
53,085
56,064
62,053
78,825
81,796
3.77
33
Papua Barat   
34,429
35,297
36,081
37,093
41,464
11.78

Total
11,514,871
12,256,604
12,759,838
13,581,571
14,824,007
9.15
Sumber : Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan
Dari tabel diatas terlihat terjadi peningkatan populasi sapi sebesar 6.5 % dari tahun ketahun. Populasi sapi terbesar terdapat di Provinsi Jawa Timur 4,7 juta ekor, Jawa Tengah 1,9 juta ekor, Sulawesi Selatan 983,9 ribu ekor, Nusa Tenggara Timur 778,2 ribu ekor, Nusa Tenggara Barat 685,8 ribu ekor dan Bali 637,4 ribu ekor. Sebagian besar populasi sapi terbesar di Pulau Jawa dan wilayah timur Indonesia, jika dikelompokan berdasarkan pulau maka populasi terbesar di pulau Jawa sebesar 50,68 %, pulau Sumatera 18,38 %, pulau Bali dan Nusra 14,8 %, pulau Sulawesi 12,08 %, pulau Kalimantan 2,9 % dan Pulau Maluku serta Papua 1,74 %. Pulau Sumatera dan Wilayah Timur Indonesia masih mempunyai potensi yang besar untuk pengembangan peternakan sapi sedangkan pulau Jawa lahan sudah semakin sempit sehingga pengembangan ternak semakin sulit dilakukan.
Pengembangan agribisnis peternakan sangat berkaitan erat dengan pakan terutama hijauan bagi ternak sapi, 70 persen dari keberhasilan agribisnis peternakan ditentukan oleh lingkungannya, yang paling utama adalah pakan dan 30 persen adalah genetick. Sumber pakan ternak masih sangat memungkinkan untuk dikembangkan baik dalam bentuk padang pengembalaaan (pasture/rance) terutama di papua, NTB dan NTT. Pakan ternak juga dapat dengan memanfaatkan by produk pertanian seperti jerami padi dan daun jagung melaui sistem integrasi ternak dengan pertanian lainnya. Program pemerintah untuk mencapai swasembada padi dan jagung tentu secara tidak langsung akan mendukung program swasembada daging sapi. Pada prinsipnya ternak sapi dapat memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan sehingga akan tercipta pertanian tepadu atau dikenal dengan (zero waist). Selama ini penggunaan jerami padi dan jagung belum optimal dimanfaatkan untuk pakan ternak, disamping itu juga potensi lahan sawit yang besar. Integrasi ternak sapi dengan padi, jagung dan sawit sangat memungkinkan untuk dikembangkan.

4.1.2.      Sumber daya manusia
Sumber daya manusia merupakan hal yang mendasar dalam pengembangan pertanian termasuk sub sektor peternakan, sehingga pengembangan sumber daya dibidang peternakan menjadi sangat perlu. Keunggulan dari sumber daya alam tidak akan mampu meningkatkan daya saing pertanian Indonesia kalau sumberdaya manusianya rendah, sehingga keunggulan komparatif akan menjadi keunggulan kompetitif jika didukung oleh sumber daya yang handal. Berapa hal yang terkait dengan sumber daya manusis pada sub sektor peternakan sebagai berikut:
1.         Sumber daya peternak
Sekitar 60 % penduduk Indonesia berkerja sebagai petani termasuk peternkan, peternakan sapi potong sebagain besar merupakan usaha sambilan dengan skala kepemilikan ternak sapi 1-3 ekor yang hanya sekedar untuk tabungan belum mencapai skala usaha. Usaha peternakan sapi potong yang diusahakan secara intensive masih sangat sedikit hal ini disebabkan oleh karena besarnya biaya investasi dibidang peternakan sapi potong sehingga para petani tidak mampu untuk melakukan peternakan skala besar. Pendidikan para peternak masih sangat rendah serta penyuluhan peternkan yang masih belum optimal dilapangan.

Tabel 2. Tenaga kerja berdasarkan tingkat pendidikan akhir sub sektor peternakan.
No
Pendidikan Akhir
Tahun

2007
2008
2009
2010
1
Tdk/blm pernah sekolah
612,217
620,374
741,599
624,929
2
Tidak Tamat SD
777,719
751,458
1,240,720
1,051,856
3
SD
1,582,666
1,786,925
1,423,124
1,524,210
4
SLTP
577,588
626,468
657,693
648,498
5
SMA
143,747
170,586
188,829
178,977
6
SMK
56,694
72,750
108,331
108,910
7
DIPLOMA I/II/III
13,806
9,470
14,718
10,733
8
UNIVERSITAS/DIV
5,620
6,148
11,151
19,781

Indonesia
3,770,057
4,044,179
4,386,165
4,167,894
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia.
Dari tabel 2 terlihat bahwa sebagian besar para peternak dengan pendidikan terakhir adalah tamat sekolah dasar mengalami peningkatan dari tahun 2009 sebesar 1,4 juta orang menjadi 1,5 juta orang ini menunjukan pendidikan para peternak masih rendah atau sekitar 37 % adalah tamat Sekolah Dasar, yang tamat Diploma dan Sarjana hanya 0 %, sedangkan tidak tamat SD sekitar 25 %.

Pendidikan para peternak masih sangat rendah hal ini juga akan berpengaruh terhadap keterampilan beternak dan penerapan teknologi peternakan serta sangat berpengaruh terhadap manajemen dan sistem peternakan di Indonesia yang masih tradisional. Jika dilihat dari perkembangan jumlah peternak yang berpendidikan sarjana mengalami peningkatan 43,6 % dibanding tahun 2008 dan 2009, sedangkan peternak yang berpendidikan tamat Sekolah Dasar juga mengalami penurunan dari tahun ketahun pada tahun 2010 mengalami penurunan 7 %.
2.         Tenaga Penyuluh
Keberhasilan pembangunan pertanian tidak terlepas dari peran penyuluh sebagai tenaga tingkat lapangan yang menyampaikan informasi teknologi dan manajemen pertanian atau peternkan kepada masyarakat. Tenaga penyuluh menjadi ujung tombak dalam menjalankan program pemerintah untuk pemberdayaan petani di pedesaan. Tenaga penyuluh pertanian masih sangat kurang walaupun sudah ada penyuluh Tenaga Harian Lepas (THL) semenjak tahun 2007 namun belum dapat menjangkau para petani secara keseluruhan. Disamping jumlahnya yang masih sedikit, penyuluh pertanian dituntut untuk mengetahui semua sub sektor pertanian atau disebut dengan penyuluh “poli palen” sehingga ilmu yang dimiliki oleh penyuluh tidak mendalam pada suatu bidang yang berdampak pada lambantnya penyampaian informasi teknologi baru kepada petani.
3.         Tenaga medik veteriner
Tenaga medic dan veteriner adalah tenga yang bertanggung jawab terhadap reproduksi dan kesehatan hewan. Tenaga medic biasanya adalah dokter hewan dan sarjana peternakan bidang reproduksi ternak. Tenaga para medic masih sangat sedikit sehingga tidak dapat memberikan pelayanan secara menyeluruh kepada para peternak.
4.         Lembaga Pelatihan dan Pendidikan
Sumber daya manusia menjadi hal yang sangat penting dalam pembangunan peternakan, dalam mendukung pembangunan peternakan adalah dengan adanya lembaga pelatihan bidang peternakan yang ada dibeberapa daerah dan adanya perguruan tinggi yang memiliki fakultas peternakan yang tersebar disetiap daerah. Merupakan kekutan dalam pengembangan peternkan di Indonesia yang memiliki pengetahuan.
5.         Lembaga penelitian
Lemabga penelitian akan menghasilkan inovasi-inovasi tekonologi pengembangan peternakan baik dalam bidang budidaya, pengolahan dan pemasaran dalam mewujudkan peternakan yang berdaya saing dan kpmpetitif. Lembaga penelitian dan pemgembangan pertanian merupakan lembaga yang telah lama dikembangkan, untuk melakukan penelitian dalam bidang peternakan adalah Balai Penelitian dan Pengembangan Peternkan di Bogor. Disamping itu juga ada lembga-lembaga penelitian litbang pertanian yang bertempat di Daerah-daerah untuk mendukung percepatan penelitian-penelitian tentang potensi spesifik didaerah tersebut.

4.1.3.      Sumber daya buatan
Disamping sumber daya alam dan sumber daya manusia, sumber daya buatan juga menjadi faktor penting dalam mendukung pencapaian program swasembada daging sapi. Hal yang termasuk sumber daya buatan adalah sarana dan prasarana pendukung seperti sarana trasportasi, sarana labor pembibitan, dan lapangan pengebalaan.

4.2.   Analisis Lingkungan Eksternal
4.2.1.                                          Globalisasi perdagangan
Pemasaran produk pertanian semakin terbuka dengan diterapkannya perdagangan bebas (free trade area) dalam perjanjian-perjanjian di WTO (Word Trade Organitation). Tantangan lain adalah dengan dibukanya kran pemasaran antara Indonesia dengan Cina bahkan dimasa yang akan datang akan dibuka kran perdagangan perdagangan bebas negara-nega asesan atau AFTA (Asean Free Trade Area). Dengan terbukanya pasar dunia akan berpengaruh terhadap pemasaran domestic, implikasinya adalah interfensi pemerintah akan berkurang terkait dengan kebijakan interfensi produk dalam negeri dari serangan produk impor terutama terkait dengan tariff bea masuk.
Globlisasi perdagangan merupakan peluang dan sekaligus ancaman bagi  perkembangan pertanian Indonesia termasuk sub sector peternakan, akan menjadi peluang kerena akan terbukanya pasar ekspor produk-produk pertnian dan peternakan. Dengan penduduk mayoritas muslim, negara-negara Timur Tengan sebenarnya sangat mengharapkan produk peternakan dari Indonesia. Namun sampai saat ini kondisi itu belum terwujud karena Indonesia masih fokus untuk kebutuhan dalam negeri yang masih impor. Perdagangan global tentu akan menjadi ancaman ketika produk dalam negeri tidak memiliki daya saing dibandingkan dengan produk impor. Produk dalam negeri akan semakin tersingkir pada akhirnya akan berdampak terhadap pendapatan petani semakin berkurang dan akan berimbas pada tingkat daya saing bangsa di dunia.
Tabel 3. Neraca ekspor-impor produk peternakan
NO
KOMODITI
TAHUN
2009
2010
2011*)
EKSPOR
754,912,832
951,661,900
        1,088,284,383
1.
TERNAK
40,473,278
50,554,481
42,179,813
2.
HASIL TERNAK/LIVESTOCK PRODUCT
440,615,217
585,117,577
781,155,377
3.
PRODUK NON PANGAN HEWANI
125,741,593
129,496,149
100,662,785
4.
OBAT HEWAN
4,704,648
5,346,775
12,025,932
5.
LAIN – LAIN
143,378,096
181,146,918
152,260,476
IMPOR
2,132,800,161
2,768,339,096
1,981,741,382
1.
TERNAK
430,612,472
450,478,663
204,614,194
2.
HASIL TERNAK/LIVESTOCK PRODUCT
1,284,628,151
1,723,325,607
1,246,960,302
3.
PRODUK NON PANGAN HEWANI
293,483,094
436,459,152
393,164,901
4.
OBAT HEWAN
41,731,023
46,465,313
30,611,856
5.
LAIN – LAIN
82,345,421
111,610,361
106,390,129
TOTAL (EKSPOR - IMPOR)
-1,377,887,329
-1,816,677,196
-893,456,999
Sumber : Ditjen Peternakan dan kesehatan hewan
Dari tabel diatas terlihat neraca perdagangan produk peternakan masih negative, ini menunjukan  Indonesia masih negara net impor produk-produk peternakan. Ketergantungan terhadap impor peternakan tidak hanya pada hasil ternak saja namun juga tergantung terhadap input produksi seperti pakan dan obat-obatan. Kondisis ini kalau berlangsung lama akan sangat membahayakan terhadap kemandirian peternakan dalam negeri.
Indonesia dengan jumlah penduduk mencapai 240 juta jiwa dan diperkirakan mencapai 300 juta jiwa tahun 2025 merupakan potensi pasar besar yang tidak akan disia-siakan oleh negara-negara lain untuk memasarkan produknya baik produk pertanian dan manufactur. Peningkatan daya saing melalui perbaikan mutu, peningkatan produktivitas, memperkuat kebijakan barieer non tariff menjadi agenda pennting bagi seluruh pemangku kepentingan yang terkait dengan agribisnis bidang peternakan.

4.2.2.                                          Globalisasi industri
Perlu disadari, secara tidak langsung perdangan bebas telah membuka globalisasi industri baik melaui FDI (Foregein Direc Invesment) hal ini telah mendorong semakin banyaknya berdiri PMA (Perusahaan Milik Asing) yang mempunyai standard atau SOP (Standar Operasional Prosedur) yang ketat, sehingga produk perternakan dalam negeri sangat sulit untuk menembus pasar tersebut. Untuk memenuhi pasokan bahan baku Industri tersebut dipenuhi dari produk-produk peternakan impor yang sesuai dengan standar perusahaannya. Disamping industri pengolahan, juga tumbuhnya pasar-pasar modern, seperti supermarket dan hypermarket namun pasar tersebut masih mengandalkan produk-produk pertanian impor sedangkan produk lokal sebagian kecil saja yang memenuhi standar untuk bersaing dipasar tersebut, sehingga produk pertanian dalam negeri hanya memenuhi pasar tradisional.
Fenomena diatas menjadi tantangan bagi arah pembangunan pertanian termasuk sub sector peternakan kedepan. Persaingan pasar produk pertanian semakin ketat, preferensi konsumen terus berubah untuk mengkonsumsi makanan yang aman, sehat dan diketahu asal usulnya (triasibility), tidak hanya itu konsumen telah memberikan grade-grade tertentu terhadap produk pertanian atau konsumen tidak melihat suatu produk itu secara utuh namun telah menilai bagian-bagian dari produk tersebut. Mungkin petani menjual sapinya dalam bentuk hidup, namun setelah sampai si pasar para pedagang akan memisahkan potongan-potongan tertentu dengan harga yang berbeda dari masing-masing bagian tersebut.
Industri pengolahan dan pasar modern tidak membutuhkan ternak secara untuh tapi membutuhkan bagian-bagian tertentu dari produk yang dibutuhkannya, seperti industri pengolahan daging akan membutuhkan daging CL 80 dan CL 90, restoran dan rumah makan mungkin akan membutuhkan daging-daging murni seperti sir, sir loin, reb aye dan lain-lain. Kondisis tersebut menjadi tantantangan bagi produk peternakan untuk mampu bersaing memenuhi permintaan pasar industri, supermarket dan restoran. Perbaikan pola rantai pasok produk peternakan perlu diperbaiki atau lebih dikenal dengan suplly chain management. Perbaikan supply chain management dapat dilakukan dengan menjadikan Rumah Pemotongan Hewan sebagai pusat pemasok daging yang aman dan memenuhi standar (tawaf. R, 2012).

4.2.3.                                          Peningkatan jumlah penduduk dan konsumsi protein
Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya bahkan pada tahun 2012 sudah mencapai 241 juta jiwa. Peningkatan jumlah penduduk juga akan berpengaruh terdap permintaan pangan salah satunya daging sapi. Disamping peningkatan jumlah penduduk pendapatan perkapita dan pendidikan juga mengalami peningkatan sehingga menyebabkan peningkatan terhadap konsumsi protein, salah satu bahan pangan sumber protein adalah daging sapi, sehingga permintaan terhadap daging sapi akan tetap bertambah. Pertambahan jumlah permintaan terhadap daging sapi harus diikuti oleh ketersediaan daging sapi lokal, kalau tersediaan daging lokal tidak ada atau tidak sesuai dengan permintaan konsumen, akan menyebabkan timbulnya impor daging sapi. Konsumsi perkapita daging sapi setiap tahunnya mengalami peningkatan.
Tabel 4. Data perkembangan konsumsi daging di Indonesia
Tahun
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Jumlah Konsumsi(kg/kapita)
0.313
0,417
0,365
0,313
0,365



Pendapatan perkapita dan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi makanan yang bergizi tinggi, telah berdampak terhadap peningkatan konsumsi protein salah satunya yang berasal dari daging sapi. Jumlah penduduk yang besar dan peningkatan pendapatan akan menjadi peluang sekaligus menjadi tantangan bagi pengembangan agribisnis peternakan sapi potong dalamnegeri. Menjadi peluang karena terbukanya pasar domestic yang besar namum akan menjadi tantangan jika produksi peternakan dalam negeri tidak berdaya saing, karena Jumlah penduduk Indonesia akan menjadi pasar yang besar pula bagi banyak negara maju.



V.       EVALUASI KEBIJAKAN SWASEMBADA DAGING SAPI 2014

Berdasarkan analisis lingkungan internal dan eksternal pengembangan agribisnis sapi potong dalam negeri, dapat dilakukan pengambilan kesimpulan kebijakan untuk pengembangan sapi ptong dalam negeri dalam rangka mewujudkan swasembada daging sapi pada tahun 2014. Untuk memudahkan melihat kesimpulan kekuatan dan kelemahan dalam pengembangan agribisnis sapi ptong untuk mewujudkan swasembada daging sapi 2014 dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel  5. Data SWOT (Strenght, Weakness, Opportunity dan Treaht)
FAKTOR INTERNAL
FAKTOR EKSTERNAL
KEKUATAN
1.      Iklim dan topografi mendukung untuk pengembangan ternak
2.      Plasma nutfah sapi lokal yang potensial
3.      Sumber daya pakan yang cukup tersedia dan itegratid farming system (nak-pangan dan nak-bun).
4.      Mayoritas penduduk sebagai petani/ peternak
5.      Pengalaman dan motivasi beternak tinggi
6.      Banyak Perguruan Tinggi yang mempunyai Fakultas/ Jurusan peternakan
7.      Terdapat lembaga penelitian dan pelatihan bidang peternakan
PELUANG
1.      Dukungan kebiajan pemerintah untuk pengembangan ternak sapi potong
2.      Potensi pasar yang besar baik domestic mapun ekspor
3.      Perkembangan ilmu dan teknologi
4.      Pendapatan perkapita semakin meningkat
5.      Populasi ternak masih sangat memungkin untuk dikembangkan
6.      Industri peternakan dan pangan berbahan baku daging sapi semaikin berkembang
7.      Preferensi konsumen yang mulai berubah untuk mengkonsumsi olahan hasil peternakan
KELEMAHAN
1.      Genetika sapi lokal belum baik
2.      Tingkat pendidikan peternak masih rendah
3.      Skala kepemilikan ternak kecil dan bersifat tradisional
4.      Kelembagaan peternak tidak kuat
5.      Sulit untuk mengakses lembaga pembiayaan
6.      Sarana dan prasarana belum mendukung (RPH dan sarana pendistribusian)
7.      Wilayah Indonesia berbentuk kepulauan, menyebabkan kesulitan dalam hal pendistribusian sapi dari daerah produsen ke konsumen.
8.      Pasar yang belum mendukung
9.      Kebijakan pembangunan nasional belum sepenuhnya bermuara untuk mendukung industri berbasis agro (agrobisnis).
ANCAMAN
1.      Globalisasi Perdagangan dan industri
2.      Peningkatan jumlah penduduk dan konsumsi
3.      Perkembangan ilmu dan teknologi
4.      Berkembangnya isu keamanan pangan dan treasibility
5.      Berkembangnya isu suplly chain management
            Dari penyempurnaan dalam bentuk tabel diatas akan memudahkan untuk membaca faktor-faktor yang terkait dengan kekutan, kelemahan, peluang dan ancaman pengembangan peternakan sapi potong untuk mencapai swasembada daging 2014. Selanjutnya dilakukan dengan memasukan faktor tersebut tersebut kedalam tabel perengkingan terkait lingkungan internal dan ekternal. Dari tabel perengkingan akan teridentifikasi faktor mana yang dominan pada kekuatan dan ancaman untuk mewujudkan pembangunan peternakan sapi potong dan swasembada daging sapi.
Tabel 6. Perengkingan kekuatan pada Faktor Lingkungan Internal
No
Kekuatan (S)
S1
S2
S3
S4
S5
S6
S7
Total
1.
S1 :
Iklim dan topografi mendukung untuk pengembangan ternak

x
x
x
0
0
0
3
2.
S2 :
Plasma nutfah sapi lokal yang potensial


x
x
0
0
0
2
3.
S3 :
Sumber daya pakan yang cukup tersedia dan itegratid farming system (nak-pangan dan nak-bun).



x
x
0
0
2
4.
S4 :
Mayoritas penduduk sebagai petani/ peternak




x
x
x
3
5.
S5 :
Pengalaman dan motivasi beternak tinggi





x
x
2
6.
S6 :
Banyak Perguruan Tinggi yang mempunyai Fakultas/ Jurusan peternakan






x
1
7.
S7 :
Terdapat lembaga penelitian dan pelatihan bidang peternakan







0
Vertikal 0 (kosong)
Horizontal x
Total








0
0
0
2
2
3
3
3
2
2
3
2
1
0
3
2
2
5
4
4
3
Rangking/ urutan
III
IV
IV
I
II
II
III

Kesimpulan : Rangking untuk peluang
I           :  Mayoritas penduduku sebagai petani/peternak
II         : - Pengalaman dan motivasi beternak tinggi
- Banyak perguruan tinggi yang mempunyai Fakultas/Jurusan Peternakan
III        : - Iklim dan topografi sangat mendukung untuk pengembangan ternak
-    Terdapat lembaga penelitian dan pelatihan peternkaan
IV        : - Plasma sapi lokal yang potensial
- Sumber pakan yang cukup tersedian dan integratid farming system.
Dari tabel perengkingan faktor lingkungan internal dapat dilihat bahwa faktor internal yang paling kuat adalah sebagian besar penuduk Indonesia sebagai petani/peternak, berikutnya penglaman dan motivasi beternak cukup timnggi, didukung oleh banyaknya perguruan tinggi yang memiliki fakultas peternakan untuk mendorong percepatan pengembangan dan penyuluhan peternakan, iklim dan topografi sangat mendukung untuk pengembangan ternak dan terdapatnya lemabag penelitian dan pelatihan untuk mendukung pencitaan teknologi dan penerapannya bagi peternak, serta terdapatnya plasma nutfah sapi lokal yang dapat dikembangkan dan pengembangan integrasi  sapi dengan tanaman pangan atau perkebunan. Untuk merumuskan kebijakan atau program pengembangan peternakan sapi potong kedepan maka faktor-faktor diatas menjadi penting untuk di perhatikan.
Setelah faktor internal dapat diraking maka selanjutnya perlu perangkingan untuk ancaman-ancaman yang ditimbulkan oleh lingkungan eksternal. Adapun perangkingan dari Faktor Eksternal dapat dilihat pada tabel berikut :
      Tabel 7. Tabel perangkingan ancaman pada lingkungan eksternal
No
Ancaman  (T)
T1
T2
T3
T4
T5
T6
T7
T8
T9
Total
1.
T1 :
Genetika sapi lokal belum baik

0
0
0
0
0
0
0
x
1
2.
T2 :
Tingkat pendidikan peternak masih rendah


x
x
x
x
0
x
x
6
3.
T3 :
Skala kepemilikan ternak kecil dan bersifat tradisional



x
x
x
0
x
x
5
4.
T4 :
Kelembagaan peternak tidak kuat




x
0
0
x
x
3
5.
T5 :
Sulit untuk mengakses lembaga pembiayaan





0
0
0
x
1
6.
T6 :
Sarana dan prasarana belum mendukung (RPH dan sarana pendistribusian)






x
x
x
3
7.
T7 :
Wilayah Indonesia berbentuk kepulauan, menyebabkan kesulitan dalam hal pendistribusian sapi dari daerah produsen ke konsumen.







0
x
1
8.
T8 :
Pasar yang belum mendukung








x
1
9.
T9 :
Kebijakan pembangunan nasional belum sepenuhnya bermuara untuk mendukung industri berbasis agro (agrobisnis).









0
Vertikal 0 (kosong)
Horizontal x
Total










0
1
1
1
1
3
5
3
0
1
6
5
3
1
3
1
1
0
1
7
6
4
2
6
6
4
0
Rangking/ urutan
V
I
II
III
IV
II
II
III
VI

       Kesimpulan : Rangking untuk ancaman
       I    : Tingkat pendidikan peternak masih rendah
       II  :  - Skala kepemilikan ternak masih kecil dan bersifat tradisional
-    Sarana dan prasana belum mendukung (RPH dan saran pendistribusian)
-    Wilayah kepulauan menyulitkan dalam pendistribusian ternak
       III : -  Kelembagaan peternak tidak kuat
-      Pasar yang belum mendukug
       IV : Sulit untuk mengakses lembaga pembiayaan
        V : Genetik ternak lokal belum baik
       VI : Kebijakan pembangunan nasional belum sepenuhnya bermuara untuk mendukung
               industri berbasis agro.

Dari hasil perengkingan faktor eksternal maka didapatkan bahwa pendidikan peternak masih sangat rendah yang berimplikasi terhadap skala kepemilikan ternak masih kecil dan bersifat tradisional, kelmbagaan peternak belum kuat yang juga berdampak kepada sulitnya para peternak untuk mengakses lembaga pembiayaan karena dinilai tidak bankable dan feasible oleh lembaga pembiayaan. Disamping itu sarana dan parasana pendukung seperti Rumah Pemotongan Hewan dan saran transporatasi dalam rangka mewujudkan rantai nilai dan rantai dingin belum memadai bahkan cenderung belum ada. Manjemen trasportasi ternak dan daging menjadi penting untuk pendistribusian ternak atau daging yang efisien dari daerah produsen ke daerah konsumen terlebih dengan wilayah Indonesia yang berbentuk kepulauan. Kelemahan-kelmahan diatas merupakan dampak dari kebijakan nasional yang belum sepenuhnya bermuara pada pengembangan ekonomi nasional yang berpijak kepada sector pertanian (agribisnis). Bahkan kebijakan pertanian terkesan parsial karena tidak terintegrasinya kebijakan pembangunan pertanian dengan sektor industri.
Setelah perangkingan dari kekuatan dan  ancaman lingkungan internal dan eksternal langkah selanjutnya adalah penilian pada faktor internal dan faktor eksternal dengan menggunakan matrik IFAS (Internal Faktor Analisis Sumary) dan matrik EFAS (Eksternal Faktor Analisis Sumary). Dari bobot penilaian tersebut akan dapat dilihat pada posisi kuadran manakah posisi agribisnis peternakan sapi potong saat ini dengan melihat pada kuadran analisis SWOT.
Dalam matrik IFAS dan EFAS akan dilakukan pembobotan sesuai dengan sejauh mana kepentingan dari faktor terhadap pengembangan agribisnis peternakan sapi potong secara objectif, hasil dari penjumlahan pembobotan kekuatan dan kelemahan adalah 1 (satu). Setelah pembobotan dilakukan selanjutnya adalah memberikan rangking bagi setiap faktor mulai dari rating 1 - 4, dan antara bobot dan rakong dari masing-masing faktor dikalikan maka itulah nilai dari faktor-faktor tersebut. Penilaian pada faktor internal dan eksternal dapat dilihat pada matrik berikut:


Tabel 6. Matrik IFAS (Internal Factor Analisis Summary)
Faktor Internal
Bobot
Rangking
Nilai
KEKUATAN
1.      Iklim dan topografi mendukung untuk pengembangan ternak
2.      Plasma nutfah sapi lokal yang potensial
3.      Sumber daya pakan yang cukup tersedia dan itegratid farming system (nak-pangan dan nak-bun).
4.      Mayoritas penduduk sebagai petani/ peternak
5.      Pengalaman dan motivasi beternak tinggi
6.      Banyak Perguruan Tinggi yang mempunyai Fakultas/ Jurusan peternakan
7.      Terdapat lembaga penelitian dan pelatihan bidang peternakan

0,05

0,05
0,10


0,10
0,10
0,05

0,10

2

3
3


4
2
3

3

0,10

0,15
0,30


0,40
0,20
0,15

0,30
Sub Total
0,55

1,60
KELEMAHAN
1.      Genetika sapi lokal belum baik
2.      Tingkat pendidikan peternak masih rendah
3.      Skala kepemilikan ternak kecil dan bersifat tradisional
4.      Kelembagaan peternak tidak kuat
5.      Sulit untuk mengakses lembaga pembiayaan
6.      Sarana dan prasarana belum mendukung (RPH dan sarana pendistribusian)
7.      Wilayah Indonesia berbentuk kepulauan, menyebabkan kesulitan dalam hal pendistribusian sapi dari daerah produsen ke konsumen.
8.      Pasar yang belum mendukung
9.      Kebijakan pembangunan nasional belum sepenuhnya bermuara untuk mendukung industri berbasis agro (agrobisnis).

0,05
0,15
0,05

0,05
0.02
0,03

0.05



0,02
0,03

-2
-4
-3

-3
-3
-2

-3



-3
-2

-0,10
-0,60
-0,15

-015
-0,06
-0,06

-0,15



-0,06
-0,06
Sub Total
0,45

-1,39
TOTAL
1,00

0,21
Setelah dilakukan pembobotan dan perengkingan dengan matrik IFAS maka akan didapatkan sub total adalah 1. Nilai dari kekuatan adalah 1,60 dan nilai kelemahan adalah 1,39. Selanjutnya adalah menganalisis pembobotan dan perengkingan faktor eksternal dengan menggunakan matrik IFAS sebagai berikut :


Tabel 7. Matrik EFAS (Eksternal Faktor Analisis Summry)
Faktor Internal
Bobot
Rangking
Nilai
PELUANG
3.      Dukungan kebiajan pemerintah untuk pengembangan ternak sapi potong
4.      Potensi pasar yang besar baik domestic mapun ekspor
5.      Perkembangan ilmu dan teknologi
6.      Pendapatan perkapita semakin meningkat
7.      Populasi ternak masih sangat memungkin untuk dikembangkan
8.      Industri peternakan dan pangan berbahan baku daging sapi semaikin berkembang
9.      Preferensi konsumen yang mulai berubah untuk mengkonsumsi olahan hasil peternakan

0,10

0,10
0,05
0,10
0,05

0,10

0,05


4

4
3
3
2

3

3

0,40

0,40
0,15
0,30
0,10

0,30

0,15
Sub Total
0,55

1,80
ANCAMAN
6.      Globalisasi Perdagangan dan industri
7.      Peningkatan jumlah penduduk dan konsumsi
8.      Perkembangan ilmu dan teknologi
9.      Berkembangnya isu keamanan pangan dan treasibility
10.  Berkembangnya isu suplly chain management

0,15
0,10
0,05
0,05
0,10

-3
-3
-2
-3
-3

-0,45
-0,30
-0,10
-0,15
-0,30
Sub Total
0,45

-1,30
TOTAL
1,00

0,50
Dari matrik EFAS dapat dilihat total bobot adalah 1 yang merupakan penjumlahan dari 0,55 sub total peluang dan 0,45 ancaman. Nilai dari peluang adalah 1,80 dan nilai dari ancaman adalah 1,30. Jadi dari matrik menggambarkan peluang perusahaan lebih besar dari ancamannya. Selanjutnya hasil dimasukan kedalam tabel posisi kuadran.
IFAS
EFAS
KEKUTAN
1,60
PELUANG
1,80
KELEMAHAN
-1,39
ANCAMAN
-1,30
RESULTAN
0,21
RESULTAN
0,50

Dari tabel diatas langkah selanjutnya adalah memasukkan kedalam kuadran 0,21 dan 0,50. Dari kuadran akan terlihat sebenarnya dimana posisi agribisnis peternakan sapi potong saat ini. Menurut rangkuti (2006) dapat dijelaskan sebgai berikut :
Kuadran 1 :  Ini merupakan situasi yang sangat menguntungkan. organisasi memiliki kekuatan dan  peluang sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung pertumbuhan yang agresif (Growth oriented strategy).
Kuadran 2 : Meskipun menghadapi berbagai ancaman, organisasi ini masih memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan strategi diversifikasi.
Kuadran 3 :  Organisasi memiliki peluang pasar yang sangat besar, tetapi menghadapi kelemahan internal. Strategi yang harus difokuskan oleh organisasi adalah dengan meminimalkan kelemahan internal untuk merebut peluang sebesar-besarnya.
Kuadran 4 : Ini merupakan situasi yag sangat tidak menguntungkan, organisasi menghadapi berbagai ancaman dari luar dan juga kelemahan internal


 

Dari kuadran diatas terlihat bahwa posisi agribisnis peternakan sapi potong berada pada kuadran I. Ini berarti kondisi agribisnis peternakan sapi potong memiliki kekuatan wlaupun masih sangat rendah berada pada titik 0,21 dan 0,50 namun memiliki peluang yang besar untuk mengatasi kelemahan dan ancaman dalam pengembangan agribisnis sapi potong kedepan. Maka strategi yang harus diciptakan adalah strategi pertumbuhan yang agresif (Growth Oriented Strategy) dan competitive advantive.
Langkah selanjutnya adalah dengan melakukan analisa SWOT. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi kebijakan kedepan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman (Rangkuti, 2006).
Tabel . Matrik SWOT
           
                  IFAS





                EFAS
Kekuatan (S)
1.       Iklim dan topografi mendukung untuk pengembangan ternak
2.       Plasma nutfah sapi lokal yang potensial
3.       Sumber daya pakan yang cukup tersedia dan itegratid farming system (nak-pangan dan nak-bun).
4.       Mayoritas penduduk sebagai petani/ peternak
5.       Pengalaman dan motivasi beternak tinggi
6.       Banyak Perguruan Tinggi yang mempunyai Fakultas/ Jurusan peternakan
7.       Terdapat lembaga penelitian dan pelatihan bidang peternakan
Kelemahan (W)
1.     Genetika sapi lokal belum baik
2.     Tingkat pendidikan peternak masih rendah
3.     Skala kepemilikan ternak kecil dan bersifat tradisional
4.     Kelembagaan peternak tidak kuat
5.     Sulit untuk mengakses lembaga pembiayaan
6.     Sarana dan prasarana belum mendukung (RPH dan sarana pendistribusian)
7.     Wilayah Indonesia berbentuk kepulauan, menyebabkan kesulitan dalam hal pendistribusian sapi dari daerah produsen ke konsumen.
8.     Pasar yang belum mendukung
9.     Kebijakan pembangunan nasional belum sepenuhnya bermuara untuk mendukung industri berbasis agro (agrobisnis).
Peluang (O)
1.     Dukungan kebiajan pemerintah untuk pengembangan ternak sapi potong
2.     Potensi pasar yang besar baik domestic mapun ekspor
3.     Perkembangan ilmu dan teknologi
4.     Pendapatan perkapita semakin meningkat
5.     Populasi ternak masih sangat memungkin untuk dikembangkan
6.     Industri peternakan dan pangan berbahan baku daging sapi semaikin berkembang
7.     Preferensi konsumen yang mulai berubah untuk mengkonsumsi olahan hasil peternakan

Competitif Advantage strategi

1.       Sangat diperlukan pengembangan bibit ternak lokal melalui pemuliaan dan perbaikan genetik untuk penciptaan breed ternak sapi lokal yang unggul sesui dengan kondisi iklim Indonesia melaui penelitian.
2.       Perlu peningkatan penelitian terhadap pakan alternative dengan pemanfaatan by produk pertanian
3.       Perlu untuk membangun industri pakan ternak sapi potong berbasis bahan baku by produk pertanian
4.       Peningkatan pengetahuan para peternak dan penguatan kelembagaan melalui media penyuluhan dan memfasilitasi peternak ke lembaga pembiayaan
5.       Peningktatan peran perguruan tinggi dan lemabga penelitian untuk menciptakan hasil penelitian yang tepat guna dan melakukan pengabdian kepada masyarakat peternak
6.       Perlu kebijakan peternakan yang terintegrasi antara hulu dan hilir dalam rangka penciptaan agroindustri yang berbasis bahan baku lokal
Strategi (W-O)

1.        Peningkatan genetic ternak lokal
2.        Peningkatan keterampilan peternak dan peningkatan jumlah peternak terdidik
3.        Pengembangan saran distribusi ternak baik melaui moda trasportasi darat, laut dan udara.
4.        Menjadikan RPH sebagai lembaga bisnis yang selama ini hanya sebagai penerima jasa serta dapat menjalin kemitraan dengan peternak kecil sekaligus mealkukan pembinaan.
5.        Perbaikan sistem pemasaran ternak melalui kemitraan dengan RPH atau industri pengolahan daging.
Ancaman (T)
1.        Globalisasi Perdagangan dan industri
2.        Peningkatan jumlah penduduk dan konsumsi
3.        Perkembangan ilmu dan teknologi
4.        Berkembangnya isu keamanan pangan dan treasibility
5.        Berkembangnya isu suplly chain management
Strategi (S-T)
1.       Meningkatkan daya saing produk peternakan dalam negeri dengan memperbaiki manajemen sistem peternakan dan penerapan teknologi tepat guna.
2.       Perkuat kebijakan barier non tariff dengan penetapan kuota impor dan perketat pemasukan produk halal serta memperlakukan kebijakan sertifikasi halal bagi produk pangan dalam negeri.
3.       Perbaikan sistem distribusis teranak hidudp dan daging sapi dengan perbaikan supply chain manajemen.
4.       Menjadikan globalisasi perdagangan dan industri sebagai peluang untuk pemasaran produk peternakan nasional.
Strategi (W-T)
1.       Perlu kebijakan nasional dalam pengembangan agribisnis yang terintegrasi antara kegitan on farm dengan off farm (hulu dan hilir)
2.       Kebijakan pembangunan agribisnis peternakan harus berkarakter ke-Indonesiaan yang berlandaskan pada UUD 1945 dan Pancasila.

Dari matrik anlisa SWOT diatas menurut pendapat penulis beberapa kesimpulan berkaitan dengan kebijakan dalam mendorong pertumbuhan agribisnis sapi potong yang berkelanjutan dan berdaya saing di pasar global adalah sebagai berikut :
1.      Perlu meningkatkan penelitian berkaitan dengan pemuliaan ternak lokal untuk perbaikan genetik dalam rangka mencari bibit ternak sapi unggul dengan produktivitas tinggi pada kondisi iklim Indonesia yang tropis. Sehingga diharapkan ada breed ternak unggul asli Indonesia yang merupakan hasil persilangan dari ternak-ternak lokal.
2.      Konserfasi plasmanutfah ternak lokal secara insitu untuk mempertahankan kemurnian genetiknya.
3.      Memaksimalkan UPT pembibitan sebagai penyupply ternak unggul kepada para peternak dan mengembangkan UPT sebagai agar dapat menjadi tempat diseminasi teknologi sistem peternakan integrasi dengan sektor lainnya yang menjadi karakter peternakan di Indonesia yang dapat diterapkan oleh peternak. Selanjutnya mengembangkan pusat-pusat pembibitan baru serta Balai Inseminasi Buatan didaerah-daerah sentra produksi yang potensial.
4.      Membangun unit-unit pengolahan pakan ternak berbasis by produk (limbah) pertanian di daerah sentra produksi yang dibangun pemerintah atau perusahaan daerah. Misalnya di Jawa Timur, Jawa Tengah, NTT, NTB, Sulawesi Selatan, dll dengan pemanfaatan jerami padi dan jagung dalam pembuatan hay atau silo, atau pemanfaatan limbah perkebunan yang kemudian didistribusikan kepada para peternak dengan harga yang terjangkau (bersubsidi) untuk menjamin kelangsungan peternakan rakyat.
5.      Pembangunan pusat-pusat kesehatan hewan di daerah produksi untuk memudahkan pelayanan kesehatan hewan dan veteriner serta kawin suntik, dll.
6.      Perlu regulasi tentang perbibitan dalam hal pendistribusian semen beku dalam bentuk straw kepada para peternak berkaitan dengan harga dan sistemnya.
7.      Perbaikan sumber irigasi untuk mendukung penyediaan air bagi ternak, karena kebutuhan air secara adlibitum sangat diperlkan oleh ternak.
8.      Peningkatan fungsi penyuluhan berkaitan dengan manajemen pakan, reproduksi dan pemasaran serta manajemen kelembagaan peternak melaui pendampingan tenaga yang profesional.
9.      Membangun RPH berstandar di sentra-sentra produksi dan menjadikan lembaga tersebut sebagai lembaga bisnis yang dikelola oleh Perusda (Perusahaan Daerah) atau BUMN dibawa kendali badan penyangga pangan. Keberadaan RPH tersebut adalah menjalin kemitraan secara backward linked dengan peternak dan forward linked dengan pelaku pasar serta industri pengolahan dan RPH juga berfungsi sebagai penyedia stock daging nasional.
10.  Perlu kebijakan agar industri pengolahan daging dalam negeri untuk menjalin kemitraan dengan para peternak sambil mengurangi ketergantungan terhadap impor.
11.  Perbaikan supply chan manjemen ternak dan daging sapi melalui rantai dingin dan rantai nilai untuk menjamin ketersediaan daging baik untuk pasar tradisional, supermarket dan industri pengolahan yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal) dengan menjadikan RPH sebabagai pusat pendistrubiusian daging sapi.
12.  Perlu kebijakan pengeluaran dan pemasukan ternak serta kebijakan traportasi ternak yang bebas dari pungutan liar dan permasalahan pendistribusian lainnya.
13.  Perlu menerapkan subsidi hilir misalnya bagi pendistribusian ternak sehingga harga daging ditingkat konsumen tetap terjangkau tampa menurunkan harga ternak ditingkat petani.
14.  Pemberian akses pembiayaan tampa bunga kepada petani dengan memanfaatkan lembaga pembiayaan yang berbasis kerjasama dan investasi dan resiko ditanggung oleh pemerintah.
15.  Perlu kebijakan pembentukan pilot project didaerah sentra dengan menerapkan sistem-sitem diatas yang terintegrasi antara kegiatan on farm dan off farm dan kemudahan dukungan pembiayaan. Daerah yang ditetapkan sebagai piloct project harus menadapat support yang kuat dari pemerintah pusat dan daerah sehingga program tersebut dapat tumbuh dan berkembang.


VI.    KESIMPULAN DAN SARAN

Dari uraian analisis strategi kebijakan dalam mewujudkan swasembada daging sapi tahun 2014, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.         Pertumbuhan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan perkapita dan kepedulian masyarakat untuk mengonsumsi panga bergizi tinggi, mutlak mendorong bangsa Indonesia untuk melakukan swasembada daging dalam rangka menjaga ketahanan pangan untuk kebutuhan protein hewani.
2.         Jumlah penduduk Indonesia yang besar, sekitar 240 juta merupakan potensi yang sangat besar sebagai peluang pasar dan tenaga kerja untuk pembangunan peternkan dalam negeri. Namun potensi tersebut akan menjadi tatangan jika potensi kompratif yang dimiliki didalam negeri tidak dijadikan keunggulan kompetitif dalam perdagangan global, yang pada akhirnya Indonesia menjadi pasar besar bagi produk-produk pangan impor termasuk peternakan.
3.         Jika dilihat dari kuadran analisa SWOT, posis agribisnis peternakan sapi potong dalam negeri berada pada kuadran ke I yang bearti pada posisi competitive advative, berate agribisnis peternakan sapi potong mempunyai peluang untuk dikembangkan dengan menggunakan program pertumbuhan, yaitu mengoptimalkan seluruh potensi yang ada dan memperbaiki seluruh subsitem terkait yang mendukung program pengembangan peternakan untuk mewujudkan peternakan yang berbasis teknologi dan kerakyatan.

Saran dari analisis strategi kebijakan untuk mewujudkan swasembada daging sapi tahun 2014 adalah :
1.         Perlu untuk mengoptimalkan UPT Pembibitan ternak unggul baik yang dikelola pemerintah pusat maupun daerah untuk mensupply bibit sapi unggul kepada peternak.
2.         Pembangunan unit pengolahan pakan ternak dengan memanfaatkan limbah pertanian didaerah sentra produksi.
3.         Pembangunan dan perbaikan sarana irigasi untuk pengairan pertanian dan peternakan.
4.         Optimalisasi penyuluhan penerapan teknologi tepat guna dan penguatan kelembagaan gapoknak dalam memrpoduksi dan memasarkan ternak,
5.         Perbaikan efesiensi pemasaran ternak dengan menjadikan RPH sebagai pusat distribusi daging dan menjalin kemitraan bersama para peternak/gapoknak.
6.         Dukungan pembiyaan dengan memberkan kemudahan pengajuan permodalan kepada peternak.


DAFTAR PUSTAKA

Daryanto. A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. IPB Press. Bogor
Herdiawan. D. 2012. Ketahanan Pangan dan Radikalisme. Repblika. Jakarta
Jafar. H.M. 2009. Membangun Pertanian Sejahtera, Demokratis dan Berkelanjutan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Kharoen. H. 2012. Politik Ekonomi Pangan Menggapai Kemandirian Mewukudkan Kesejahteraan. Cidesindo. Jakarta.
Krisnamurti, Azumardi, dkk. 2009. Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban. Kompas. Jakarta
Kuncoro. M. 2009. Ekonomika Industri Indonesia. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Nainggolan.K. 2008. Melawan Kemiskinan dan Kelaparan Abad ke-21, Kekal Prees. Jakarta
Statistik Peternakan 2012 Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan




Kamis, 14 Maret 2013

PRODUK PERBANKAN SYARIAH DAN PENERAPANNYA PADA SEKTOR PERTANIAN

Pembangunan pertanian merupakan salah satu sektor utama dalam pembangunan nasional, hal ini berkaitan dengan peran sektor pertanian dalam penyediaan lapangan pekerjaan, penyumbang PDB, sebagai penghasil pangan, pakan dan energy serta sektor pertanian yang lebih fleksibel terhadap gejolak krisis ekonomi seperti yang terjadi pada krisis ekonomi tahun 1997/1998 yang mana sektor yang tetap bertahan adalah pertanian. Angkatan kerja yang bekerja disektor pertanian mencapai 40,3 persen dari seluruh angkatan kerja (BPS, 2010). Penggunaan lahan oleh sektor pertanian mencapai 71,33 persen dan juga sebagai penyumbang PDB sebesar 15,60 persen dari total PDB.
Pertumbuhan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan perkapita dan kesadaran masyarakat terhadap makanan yang bergizi tinggi, serta kebutuhan energy fosil yang semakin menipis menyebabkan sektor pertanian menjadi sangat penting dalam meningkatkan perekonomian masyarakat dan nasional, maka orientasi pembangunan pertanian diarahkan kepada model sistem agibisnis yang serasi dan terpadu dengan keterkaitan yang erat antara berbagai subsistemnya. Subsistem dalam agribisnis tersebut adalah subsistem sarana produksi pertanian (agro input), subsistem usaha tani (on farm), subsistem pengolahan dan pemasaran (off farm) serta subsistem penunjang (penelitian, penyuluhan dan pembiayaan).
Peran sektor pertanian sangat besar dalam pembangunan perekonomian jika dilihat dengan kaca mata agribisnis. Kegiatan budaya pertanian akan berdampak terhadap bergeraknya kegiatan input produksi dalam penyediaan benih/bibit, pupuk, fungsida, pakan, vaksin dan obat-obatan. Akan menyebabkan bergeraknya sektor hilir yaitu, pemasa
Perbankan syariah di Indonesia sudah dimulai semenjak zaman orde baru yaitu dengan diresmikannya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992. Namun dalam perjalanannya banyak mengalami kendala salah karena berbagaimasalah salah satunya adalah unit-unit perbankan syariah masih terbatas dan pemahaman masyarakat masih rendah dengan sistem syariah. Pasca reformasi perbankan syariah mulai diminati oleh masyarakat seiring dengan tumbuhnya kesadaran umat muslim untuk kembali pada syariat Islam salah satunya adalah perbankan. Perbankan konvensional sudah mulai membuat skim-skim syariah, karena menyadari sebagian besar penduduk Indonesia adalah muslim.
Dengan berkembangnya perbankan syariah atau lembaga pembiayaan syariah diharapkan dapat menunjang peningkatkan perekonomian masyarakat terutama kalangan menengah kebawah. Hal ini didasari dari pendirian perbankan syariah yang bertumpu pada perekonomian di sector riil serta tujuannya sebagai perbankan investasi yang berkeadilan. Berbeda dengan perbankan konvensional yang berbasiskan bungan (interest) sehingga bank adalah selalu menjadi pihak yang tak pernah rugi walaupun nasabah merugi dalam dunia usaha. Kondisi demikian sangat bertolak belakang dengan usaha disektor rill yang beresiko tinggi sehingga perlu kehati-hatian dan manajemen yang baik.
Salah satu kegiatan ekonomi sector rill yang diharapkan dapat  menggunakan pembiayaan syariah adalah sector pertanian. Beberapa hal yang melatarbelakangi adalah sektor pertanian masih memainkan peran sangat strategis dalam perekonomian nasional. Sektor ini tetap menjadi andalan sebagai sumber pendapatan dan mata pencaharian 40 % dari  penduduk Indonesia, penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB), sumber devisa negara, serta pemasok bahan baku sekaligus pasar bagi sektor industri. Bahkan, ada peran sektor pertanian yang tidak mungkin digantikan sektor lain yaitu sebagai sumber bahan pangan. Namun demikian, sektor pertanian masih saja menghadapi permasalahan yang cukup pelik, terutama permodalan.
Pembangunan sektor pertanian masih trlihat pincang, karena tidak adanya hubungan yang terintegrasi antara kegiatan di sektor on farm dengan off farm serta sektor penunjanglainnya, bahkan masing sektor berjalan sendiri-sendiri. Ketiadaan hubungan tersebut berimplikasi pada petani hanya bergerak pada kegiatan on farm saja sedangkan kegiatan pemasaran dilakukan oleh para pedagang perantara yang akhirnya menyebabkan panjangnya rantai pemasaran produk pertanian. Disisi lain kepincangan pembangunan pertanian adalah tidak adanya lembaga pembiayaan khusus untuk pertanian sehingga berimplikasi pada sulitnya para petani untuk mendapatkan modal untuk pengembangan usaha. Selama ini pembiayaan pertanian diserahkan saja pada bank umum dengan program kredit yang disubsidi pemerintah.  Namun petani sangat sulit untuk mengaksesnya karena pihak bank sangat memberikan persyaratan yang ketat, kehati-hatian bank sangat tinggi terhadap pembiayaan pertanian karena pada dasarnya bisnis pada sektor pertanian sangat beresiko tinggi, hal ini lah yang menjadi alsan bagi pihak perbankan berhati-hati dalam memberikan kredit dan memang pada dasarnya kehati-hatian (prudent) adalah ciri dari lembaga perbankan.
Nilai kredit perbankan untuk sector pertanian pada tahun 2009 mencapai angka Rp 77,412 trilyun, atau sekitar 5,69 persen dari total keseluruhan kredit perbankan. Angka ini menglami peningkatan hingga Rp 117,52 trilyun per Februari 2012 (biek, 2011)[1]. Hal ini menujukan bahwa skala pembiayaan pertanian masih sangat kecil bahkan angka tersebut jauh di bawah pembiayaan untuk sektor lain seperti perindustrian dan perdagangan, restoran dan hotel, serta pengangkutan, karena pihak perbankan belum tertarik untuk meningkatkan proporsi pembiayaan sektor ini. Berbagai jenis kredit program yang diluncurkan pemerintah untuk sektor pertanian, seperti kredit Bimas, Inmas, kredit usaha tani (KUT), serta kredit ketahanan pangan (KKP) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Namun, kredit program masih belum cukup optimal dalam memberdayakan petani yang ditunjukkan oleh masih lemahnya kemampuan petani dalam permodalan. Selain dari kredit program dan bank komersial, pembiayaan pertanian di pedesaan juga banyak ditopang lembaga kredit nonformal, seperti para pembunga uang (money lenders) yang berprofesi sebagai pedagang output, pedagang input, pemilik penggilingan padi ataupun para petani kaya.
Salah satu ciri paling menonjol dari kredit pertanian baik formal maupun nonformal adalah skim kredit tersebut selalu berbasis bunga (interest), padahal sektor pertanian yang sarat dengan risiko memiliki peluang kegagalan yang tinggi, baik dalam produksi maupun jatuhnya harga. Jika petani gagal dalam usaha taninya, di samping tidak akan mampu mengembalikan pinjaman, mereka juga dapat terjerat hutang yang makin lama makin membengkak. Model kredit ini juga membebankan segala risiko usaha hanya kepada peminjam (petani), sementara pemilik dana selalumendapat untung sebesar tingkat bunga yang telah ditetapkan. Untuk menjamin rasa keadilan, perlu dicari pembiayaan alternative yang sesuai dengan sifat sektor pertanian. Salah satu lembaga pembiayaan yang mulai berkembang adalah pembiayaan syariah.
Secara teori, ada tiga hal yang menjadi penciri dari pembiayaan berbasis syariah, yaitu (1) bebas bunga, (2) berprinsip bagi hasil dan risiko, dan (3) perhitungan bagi hasil tidak dilakukan di muka yang pada dasarnya sangat sesuai dengan karakteristik kegiatan sector pertanian dan juga terkait dengan sebagian besar petani adalah Muslim. Berbeda dengan kredit konvensional yang memperhitungkan suku bunga di depan, ekonomi syariah menghitung hasil setelah periode transaksi berakhir. Hal ini berarti dalam pembiayaan syariah pembagian hasil dilakukan setelah ada keuntungan riil, bukan berdasar hasil perhitungan spekulatif. Sistem bagi hasil ini dipandang lebih sesuai dengan iklim bisnis yang memang mempunyai potensi untung dan rug
Secara umum produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu produk penyaluran dana, pengimpunan dana, produk yang berkaitan dengan jasa yang diberikan kepada nasabahnya[2]. Pada produk penghimpunan dana skim yang digunakan adalah berupa wadi’ah dan mudharobah. Untuk menyalurkan dana pembiayaan syariah/ perbankan syariah menggunakan skim prinsip jual beli (ba’i), prinsip sewa (ijaroh) dan prinsip bagi hasil (syirkah). Sedangkan pada produk jasa menggunakan skim jual beli valuta asing (sharf) dan sewa (ijaroh).
Hampir seluruh perbankan konvensional memperlakukan sistem bunga (interest) dalam menjalankan fungsinya sebagai penghimpun dan menyalurkan dana kepada nasabahnya. Sistem bunga pada dasarnya sangat berbahaya bagi pembiayaan pada sector rill termasuk bidang pertanian karena beresiko tinggi (high resico). Berkaitan dengan hal tersebut pembiayaan syariah sangat berpotensi dalam pembiayaan pada sector pertanian karena produk-produk perbankan syariah bebas dari bunga. Secara umum produk pembiayaan syariah terbagi atas produk berbasis bagi hasil, produk berbasis jual beli dan produk berbsis zakat.
1.         Produk Berbasis Bagi Hasil
Produk pembiayaan syariah berbasis bagi hasil terdiri dari dua akad utama yaitu mudharabah dan musyarokah, pengertian dari masing-masing skim tersebut sebagai berikut :
1.1.      Mudharabah
Mudharabah (trust financing/ trust investment) merupakan akad kerjasama dua pihak, dimana pihak pertama (pemilik modal/ shahibul mal) sebagai penyedia modal (100 %), sedangkan pihak lain sebagai pengelola modal (mudharib) memiliki skill dalam usaha yang akan dijalankan. Pembagian keuntungan atau nisbah pada sistem ini tergantung pada akadnya dari awal apakah dilakukan berdasarkan untung dan rugi (profit and loos sharing) atau berdasarkan metode bagi pendapatan (revenue sharing). Sebagai pemilik modal Bank tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha tetapi hanya memiliki hak untuk dalam pengawasan dan pembinaan nasabah. Sebagai seorang penerima pembiayaan (mudharib)  behati-hati dan bertanggung jawab untuk setiap kerugian dari kelalaian.
Landasan hukum dari sistem mudharabah adalah firman Allah dalam surat Al- Muzammil ayat 20 yaitu: “Dan orang-orang di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT”  dan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu majah :” tiga perkara didalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan pembayaran secara tangguh, muqaradah (nama lain mdharobah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk di jual.
Dalam literature fiqih, musyrokah dan mudharobah berbentuk perjanjian kepercyaan (uqud al amanah) yang menuntut tingkat tingkat kejujuran yang tinggi dan menjunjung keadilan. Karenanya masing-masing pihak harus menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama dan setiap usaha dari masing-masing pihak untuk melakukan kecurangan dan ketidakadilan pembagian pendapatan betul-betul akan merusak ajaran Islam. Ketentuan umum sistem mudharobah sebagai berikut :
1)         Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harus diserahkan tunai, dapat berupa uang atau barang yang dinayatakan nilainya dalam satuan uang. Apabila modal diserahkan secara bertahap, harus jelas tahapannya dan disepakati bersama.
2)         Hasil dari pengelolaan modal pembiayaan mudharobah dapat diperhitungkan dengan dua cara : perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing) dan perhitungan dari keuntungan proyek (profit loss sharing).
3)         Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad pada setiap bulan atau waktu yang disepakati. Selaku pemilik modal, bank menanggung seluruh kerugian, kecuali akibat kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah, seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan dana.
4)         Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan, namun tidak bberhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah. Jika nasabah cidera janji dengan sengaja, misalnya tidak membayar kewajiban atau menunda pembayaran kewajiban, maka dapat dikenakan sanksi administrasi.

1.2.      Musyarokah
Musyarokah (partnership/project finacing participation) merupakan kerjasama dua pihak atau lebih untuk menjalankan kegiatan usaha atau bisnis dimana secara bersama-sama memadukan seruruh sumber daya bauk yang berwujud (tangible) mapun yang tidak berwujud (intangible) dengan resiko ditanggung bersama-sama sesuai kesepakatan.
Secara spesifik bentuk dari kontribusi dari pihak yang bekerjasama dapat berupa dana, barang perdagangan (trading asset), kewirausahaan (entrepreneurship), keahlian (skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment), atau intangible asset (seperti hak paten atau goodwill), kepercayaan reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai degan uang.  Dengan merangkum seluruh kontribusi masing-masing.
Jenis usaha yang dapat dibiayai dengan sistem musyarokah antara lain perdagangan, perindustrian, usaha atas dasar kontrak dan lain-lain. Beberapa usaha kongsian yang mirip dengan musyarokah seperti CV, PT, dan Koperasi. Untuk usaha agribisnis skala besar bisa dengan sistem ini, dan pada usaha pertanian skala kecil dapat dengan skim muzaro’ah. Sistem muzaroah adalah penyereahan pengelolaan lahan pertanian kepada seseorang yang mau untuk menggarap dengan perjajian bagi hasil. Biasanya penyediaan benih dari pemilik lahan sedangkan pengelola mengeluarkan biaya penggarapan, perawatan dan pemanenan. Sistem ini pada dasarnya sudah sangat lazim dalam kehidupan sehari-hari hampir diseluruh wilayah pedesaan Indonesia yang dikenal dengan sistem skap-menyakap atau paroan[3].
Pada praktek perbangkan, penyediaan dana oleh bank untuk memenuhi sebagian modal suatu usaha tertentu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan dengan nasabah sebagai pihak yang harus melakukan pengelolaan atas investasi sesuai ketentuan akad. Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan bersama-sama menyediakan dana dan atau barang untuk membiayai suatu usaha tertentu. Nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan bank sebagai mitra usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati (Kementan, 2011)[4].
2.         Produk Berbasis Jual Beli (Ba’i)
Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Pada sisitem ini tingkat keuntungan bank ditentukan didepan dan menjadi harta atas barang yang dijual. Transaksi jual beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang, seperti :
2.1.            Pembiayaan Murabahah
Murabahah berasal dari kata “rib” (keutungan) adalah transaksi jual beli dimana bank menyebut jumlah keuntungannya atau mengambil keuntungan dengan cara menjual lebih tinggi dari harga beli. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok tambah keuntungan. Kedua bela pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam perbankan, murabahah lazimnya dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (bi tsaman ajil). Dalam transaksi ini barang diserahkan segera setelah akad, sedangkan pembayaran dilakukan secarah tangguh (deffered paymen) dan harga yang ditentukan dengan dasar fixed mark-up profit.
Landasan syariah sistem murabahah adalah firman Allah dalam surat Al Baqoroh : 125 “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Pada sector pertanian sistem ini bisa diterapkan pada kegiatan budidaya yaitu untuk pembelian sarana produksi (benih, pupuk, obatobatan, dan alat-alat pertanian lainnya). Pada sistem murabahah, lembaga keuangan syariah menjual produ-produk ataubarang-barang kepada nasabah untuk keperluan usaha denga pembayarn diangsur atau sekaligus sesuai kesepakatan dan lembaga keuangan syariah mendapat keuntungan dari margin harga jual barang.

2.2.            Pembiayaan Salam (future trading).
Salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan bekum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara tanguh sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli sedangakan nasabah sebagai penjual produk. Sekilas transaksi ini mirip dengan jual beli ijon pada produk pertanian.
Dlam praktek perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau secara angsuran. Harga yang ditetapkan bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal ini bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus menyetujui harga jual dan jangka waktu serta pembayaran. Adapun ketentuan umum salam sebagai berikut ;
1)         Pembelian hasil produk pertanian harus diketahui spesifikasinya secara jelas, seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya. Misalnya jual beli 100 kg mangga harum manis kualitas “A” dengan harga Rp 5000/kg akan diserahkan pada panen bulan mendatang.
2)         Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad, maka nasabah (produsen) harus bertanggung jawab dengan cara antara lain : mengembalikan dana yang diterimanya atau mengganti sesuai dengan pesanan.
3)         Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua) seperti Bulog, pedagang pasar induk, eksportir atau industri pengolah, mekanisme seperti ini disebut dengan parallel salam.
Model pembiayaan salam pada sector pertanian (Kementan, 2008)[5], sebagai berikut :










Keterangan :
1.      Pembiayaan kepada pelaku usaha pertanian dilakukan melalui SPV (Special Purpose Vechile) yang dibentuk oleh lembaga keungan syariah (LKMS).
2.      Pelaku usaha pertanian berkewajiban mengirimkan produk pertnanian kepada bank (SPV) dimasa yang akan datang.
3.      Pemerintah memberikan penajaminan jika seandainya panen mengalami kegagalan
4.      SPV menyalurkan/ menjual hasil panen langsung ke pasar/ eksportir/ bulog/ perusahaan/ industri.
Landasan syariah sistem salam adalah berdasarkan hadist riwayat Bukhari dari Ibn Abbas, Nabi bersabda :
“Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui” (HR. Bukhari).
2.2.1.   Pembiayaan Istishna
Produk isthisna menyerupai produk salam, namun dalam istihna pembayaran dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Skim ini dalam bank syariah ummnya diaplikasikan pada pembiayaan manufacture dan kontruksi. Ketentuan umum dari istishna adalah : 1) Spesifikasi barang pesanan harus jelas, seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlah, 2) Harga jual yang disepakati dicantumakan dalam akad istishna dan tidak boleh berubah selama berkakunya akad, 3) Jika terjadi perubahan dari kreteria pesanan dan terjadi perubahan harga setelah akad ditandatangani, maka seluruhnya biaya tambahan tetap ditanggung nasabah.
3.      Produk berbasis Sewa (Ijaroh)
Transaksi ijaroh dilandasi adanya perpindahan manfaat, jadi pada dasarnya prinsip ijaroh sama saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terdapat pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek trnasaksinya adalah barang, maka pada ijaroh objek transaksinya adalah jasa.
Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakan kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syariah dikenal dengan ijaroh muntahiyah bittamlik (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian.
Penerapan Pembiyaan Syarian pada Sektor Pertanian
Dari uraian beberapa produk perbankan syariah dalam pembiayaan atau penyaluran dana, maka pada sector pertanian dapat diterapkan pada kegiatan agribisnis. Adapun bentuk pembiayaan dan unit pembiayaannya dapat dijelaskan pada tabel berikut.
Proses/Sub sistem
Jenis kegiatan usaha
Akad Pembiayaan
Hulu
-       Penyediaan lahan
-       Penyediaan bibit/ benih
-       Penyediaan pestisida/fungisida
-       Penyediaan alsin
-       Dan saprodi lainnya
-       Ijaroh (prinsip sewa)
-       Istihna
-       Murabahah
Budidaya
-       Alat dan mesin pertanian (semprot, pemeliharaan, dll)
-       Pembelian pupuk dan obat-obatan
-       Murabahah
-       Istishna
Hilir
-       Penyediaan alsin pasca panen, pengolahan dan transportasi
-       Pemasaran hasil pertanian
-       Murabaahah
-       Ijaroh
-       Istishna
-       Salam
Seluruh Proses Produksi (Hulu-hilir)
-       Permodalan perkongsian (pelaku usaha dan lemabga pembiayaan)
-       Permodalan sepenuhunya lembaga pembiayaan
-       Musyarokah


-       Mudhorobah



[1] Dalam makalah Dr. Irfan Syauki Biek Akselerasi Lima Jalur Pembiayaan Syariah untuk Sektor Pertanian di Indonesia (2012).
[2] Buku Lembaga Keungan Syariah karangan Ahmad Rodoni dan Abdul Hamid (2008).
[3] Jurnal Forum Ekonomi Pertanian “Prospek Pembiayaan Syariah untuk Sektor Pertanian” oleh Ashari dan Saptana.
[4] Pola Pembiayaan Syariah untuk sector pertanian (2011)
[5] Pembiayaan Syariah dalam Pembangunan Pertanian (kmenterian Pertanian, 2008)


“NEGARA KAYA TERNAK TIDAK AKAN PERNAH MISKIN”

Sejak dilakukan domestikasi  ( m enjinakan) hewan buruan oleh manusia, yang pada awalnya hanya untuk kebutuhan pangan keluarga sehari-hari, ...